Fatamorgana
Saujana yang merah, dan senyum bibir yang fatamorgana. Desah angin dan lengking camar
mencipta lagu semesta. Tersembunyi pesan tentang sunyi dan hal-hal yang menumbuhkan
ingatan yang kenang.
Aku melihat seorang lelaki, perempuan dan bocah tengah membangun istana di garis pantai
yang memantulkan warna keemasan. Mereka menjelma siluet di cakrawala yang remang-
remang. Diantara karang dan perahu yang kabur dan hitam.
Tanpa benda yang beri jarak antara perjumpaan mereka. Tanpa Jemari dan mata-mata yang
asik dengan dunia yang semu dan celaka.
Ngalamun, 16 Juni 2017
Pesan Ibu Seorang Pelaut
Rindu yang tambah pasang. Menyeret air laut ke tepi pantai.
Mengikis karang yang benam di tanah perak.
Seekor camar keluar dari mata seorang perempuan
Melengking dan terbang ia. Menyimpan resah diparuhnya,
Membawa kabar dari pulau tak bernama.
Bulan dan laut mengingatkanmu
untuk terus berlayar. Tapi tak ingatkah kau
pada kampung halaman?
Sedang gelisah, 24 Juni 2017
Sebuah Taman
Aku melihat matamu yang basah,
Setelah tumbuh hujan yang rintiknya jatuh
di wajah yang entah siapa: Lelakimu, selingkuhanmu,
gebetanmu, atau siapapun itu.
Hanya saja di bawah sepasang bulu mata
yang meneduhkan bola mata hitammu itu
aku ingin menanam pohon-pohon yang lebat, dan
membangun sebuah bangku taman diantaranya.
Dan aku ingin beristirahat disana, melepas lelah
Sambil baca buku-buku yang ringan, atau
melamunkan hal-hal yang membuatku tersenyum
dan melupakan luka.
Oh iya, kamu boleh kok ikut gabung.
Sembari tak peduli waktu kita berkisah
tentang burung-burung gereja, dan
kupu-kupu kesayanganmu yang sirna.
Sedang kangen, 21 Juni 2017
Catatan Redaksi:
Puisi-puisi Malikul Alam menggambarkan tentang sebuah pengharapan/keinginan. Ada yang menggambarkan harapan soal keindahan masa lalu keakraban sebuah keluarga, kepulangan orang yang dicintai, atau harapan untuk bisa mendapatkan ruang dalam hidup seseorang. Tapi apa yang diharapkan nampaknya sulit digapai. Sebagaimana sebuah fatamorgana, Ia seolah-olah nyata, bisa tergapai, namun akan hilang dalam sekejap layaknya istana pasir yang lekas disapu oleh ombak.
Puisi ketiga Malikul Alam juga semakin memperlihatkan gambaran sesuatu yang tak hanya semu tapi sekaligus ironis. Membangun taman di atas mata air air mata, membasuh luka di mata air yang penuh luka, bercerita santai tentang sesuatu yang menyesakkan hati, sementara barangkali lebih baik terlebih dahulu membangun taman dalam hidup sendiri.
Terlepas dari itu semua, puisi-puisi Malikul Alam memang renyah untuk dibaca, sampai membuat saya terbuai dalam fatamorgana.
*Lukisan Calm Sea karya Leonid Afremov
Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.
Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi