Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

[Ngibul #52] Kopi Slukatan: Kopi dari Wonosobo yang Kurang Dikenal Warganya Sendiri

author = Bagus Panuntun

1.

Di sebuah kota yang dingin, kopi seharusnya menjadi teman yang intim bagi para penghuninya. Tapi tak demikian dengan Wonosobo. Di kota kecil yang terletak di lereng Sindoro-Sumbing ini, kopi masih jarang menghangatkan perbincangan di meja-meja keluarga.

Kopi memang kalah pamor dibanding teh yang sejak lama telah menjadi salah satu komoditas utama kota. Tapi tetap saja, fakta yang saya temui cukup bikin geleng kepala: di sebuah desa bernama Slukatan, 4 dari 5 warga yang kami temui mengaku tak pernah mendengar nama Kopi Slukatan.

2.

Pada mulanya adalah perbincangan dengan seorang teman yang didaulat menjadi Duta Wisata Wonosobo. Saya bertanya adakah varietas kopi lokal yang ia tahu. Ia menjawab akan menanyakannya di grup whatsapp perkumpulan Duta Wisata. Tak sampai lima menit, ia memberi tiga nama. Pertama, kopi Bowongso dari kecamatan Kalikajar. Nama ini adalah yang paling jamak disebut sebagai produk kopi kebanggaan lokal. Kopi Bowongso sudah gampang ditemui di kafe-kafe yang mulai tumbuh di sekitar alun-alun kota. Kedua adalah Kopi Karangsari dari kecamatan Sapuran. Nama kopi ini baru pertama kali saya dengar. Tapi sebab letaknya yang terlalu jauh dari pusat kota, saya memilih sejenak mengabaikannya. Sementara nama yang ketiga adalah Kopi Slukatan. Ia berasal dari Kecamatan Mojotengah yang relatif lebih dekat karena bisa ditempuh kurang 1 jam dari pusat kota.

Saya pun memutuskan untuk mengunjungi Desa Slukatan demi menyicip kopi desa tersebut. Sebelumnya, saya berterima kasih pada teman-teman Duta Wisata Wonosobo. Nyatanya, Duta Wisata mampu memberi lebih banyak faedah dibanding sekadar menjadi among tamu di Pendopo Kota.

3.

Saya berangkat menuju Slukatan bersama tiga kawan saya, Indra, Dede, dan Dika. Kami naik sepeda motor di mana Indra memandu di posisi paling depan. Jarak kota Wonosobo sampai Desa Slukatan sebenarnya tak jauh-jauh amat. Kira-kira 15 kilometer. Hanya saja, separuh dari jalur tersebut adalah jalan berbatu yang naik-turun. Yang sungguh aduhai, perjalanan menuju Slukatan akan diselingi oleh pemandangan-pemandangan menawan di kanan-kiri jalan. Setidaknya selama perjalanan, kita akan berjumpa dengan Sungai Serayu, hamparan sawah hijau berlatar Sindoro-Sumbing, hingga lembah Desa Slukatan yang hijau berbukit-bukit.

Sebenarnya hari itu kami sama sekali tak tahu di mana tepatnya kami bisa mendapat kopi Slukatan. Kami tak berbekal informasi tentang adakah semacam kedai kopi di sana atau siapa nama petani kopi yang bisa kami temui. Maka, ketika kami memasuki Desa Slukatan, kami memutuskan menyambangi dahulu Jembatan Gantung Slukatan yang beberapa kali muncul di akun instagram @wonosobohitz. Harapannya, di jembatan tersebut kami akan bertemu dengan seorang warga lokal yang tengah lewat atau sedang istirahat untuk bertanya-tanya tentang Kopi Slukatan.

Warga lokal pertama yang kami temui adalah juru parkir di area tersebut. Munculnya foto Jembatan Slukatan di akun-akun instagram populer ternyata membuat kunjungan ke desa ini cukup meningkat sehingga diputuskan bahwa desa memiliki juru parkir. Sayangnya sang juru parkir mengaku tak tahu sama sekali tentang Kopi Slukatan.

Kami kemudian menuju ke arah pemukiman warga di mana jalan masih tetap naik-turun berbatu namun pemandangan di sisi jalan tak lagi dihiasi oleh bukit-bukit melainkan rumah-rumah. Kami berhenti di depan sebuah warung sembako dan menanyakan perihal yang sama pada tiga orang Ibu-ibu yang tengah bertukar cerita.

“Bu, nuwun sewu, kalau mau cari kopi Slukatan dimana nggih ?”, tanya saya setelah turun dari motor.

“Kopi Slukatan? Kopi nggih kopi aja mas. Kalau kopi sih di sini ada. Kopi Kapal Api. Kapal Api oke!”, jawab seorang Ibu sambil mengacungkan jempolnya.

Yawla. Yang oke RCTI bu”, batin saya.

Kami mulai merasa janggal dan meragukan keberadaan kopi Slukatan. Beruntung, kami kemudian berjumpa dengan seorang Bapak yang tengah menikmati udara segar lewat jendela kamarnya sembari ngerokok dan ngopi. Bapak itu memberi tahu kami tentang seorang petani kopi bernama Pak Parman.

“Mungkin Mas sedang cari Pak Parman. Silahkan balik arah ke arah masjid nanti ada jalan kecil di sebelah kanan. Masuk saja ke sana lalu turun sampai di rumah paling mentok”.

4.

Ruas jalan ke arah rumah Pak Suparman hanya selebar 1 meter dengan turunan yang cukup curam dan licin-berbatu. Rumahnya benar-benar berada di ujung pemukiman, berdiri sendiri dengan tenang dan bersahaja. Di depan rumah itu, kami bertemu dengan seorang lelaki paruh baya berbadan gempal yang nampaknya tengah bersiap berangkat ke kebun.

Nuwun sewu Pak, bisa bertemu Pak Parman?”,

“Saya Pak Parman. Wah, dari mana ini? Ada apa nggih?”,

“Asli Wonosobo juga kok Pak. Ingin nyicipi kopi Slukatan”,

“Wah untung saya belum berangkat ngarit (mencari rumput)”, balasnya sambil tertawa lebar.

Ternyata tak ada kedai kopi di Slukatan. Yang ada hanyalah rumah sederhana berdinding kayu-berlantai tanah dengan pintu yang selalu terbuka lebar. Di dalam rumah itu, terdapat ornamen-ornamen khas warga Nahdlatul Ulama. Kaligrafi Surat Yaasin dari kulit hewan, foto para sesepuh kyai NU, hingga lukisan Baitul Makdis yang terpajang gagah di atas pagar. Kami disambut oleh pasangan Suami-Istri Pak Parman yang mempersilahkan kami duduk sembari menunggu mereka memasak air. Di depan kami sudah tersedia kudapan ceriping, peyek, dan kue kering.

Sekitar 10 menit kemudian, Pak Parman keluar dari dapur dengan membawa lima buah cangkir dan satu teko air mendidih. Tak lupa dibawanya pula sebungkus kopi bubuk Slukatan yang telah dikemas dengan gaya modern.

Kami sedikit heran mengapa kopi yang telah dikemas menjadi produk seperti ini bisa tidak dikenali warga-warganya. Maka sembari menyeduh kopi tubruk dengan cita rasa pahit yang ringan, cenderung asam, dan agak manis ini, kami membicarakan pelbagai hal tentang kopi Slukatan bersama Pak Parman.

Kopi Slukatan adalah jenis kopi Arabika yang telah ditanam sejak tahun 1990. Dalam satu kali panen, desa Slukatan dapat menghasilkan lebih dari 20 ton bijih kopi kering. Selama ini, kopi Slukatan sebenarnya hampir selalu menjadi bahan utama untuk kopi campuran yang dijual di pasar-pasar Wonosobo. Hanya saja, nama kopi Slukatan memang belum terkenal karena belum dikemas secara kreatif oleh masyarakat desa. Keluarga Pak Parman lah yang memulai pengemasan ini beberapa bulan lalu.

Kami pun mencoba menanyakan perihal keterlibatan pemerintah Wonosobo dalam mengelola salah satu komoditas potensialnya.

“Pemerintah tidak ikut membantu Pak? Misalnya merencanakan Slukatan sebagai desa wisata agrikultur, begitu?”,

“Pemerintah dari dulu sebenarnya sudah menawarkan mas. Tapi sumber daya manusianya yang nggak ada. Pemudanya masih kurang aktif mas di sini. La kalau ada teman-teman yang mau KKN di sini mungkin nanti bisa berubah pemikiran warganya”, terang Pak Parman dengan suaranya yang tegas tapi juga ramah.

Menyesap kopi di daerah dingin begini, apalagi ditambah klethikan criping yang tak habis-habis, benar-benar membuat kami betah berlama-lama. Pak Parman, meski harus menunda waktunya ke kebun, ternyata tak nampak terganggu  sama sekali. Ia justru bercerita banyak tentang keluarganya yang turun temurun telah jadi petani kopi. Salah satu anaknya kini juga membantunya mengolah bijih kopi Slukatan dan menjadi sosok yang punya ide memasarkannya dengan gaya anak muda. Kopi Slukatan telah beberapa kali mengikuti pameran hasil pertanian yang diselenggerakan pemerintah Wonosobo dan Temanggung. Kopi ini dijual dengan harga 250.000 rupiah per kilonya. Sejak mengikuti beberapa pameran, rumah Pak Parman jadi kerap dikunjungi tamu-tamu dari luar kota. Dari sini, ia berharap bahwa kopi Slukatan akan makin dikenal dan membuat anak-anak muda di sana bisa hidup dari bertani.

“Kalau anak muda mau bertani Mas, banyak sekali lo bantuan dari pemerintah yang bisa diminta. Mas-mas ini seharusnya besok tua punya kebun sendiri. Boleh jadi sarjana sastra, boleh jadi insinyur, boleh jadi apa saja, asalkan tetap jadi petani. Kalau nggak ya namanya menyia-nyiakan rezeki. Wong tanah kita bisa ditanami apa saja”, ujarnya mantap.

Saya menandaskan sisa kopi yang tinggal seperempat  cangkir saja. Tak terasa, waktu telah beranjak sore dan dingin mulai menembus switer yang saya kenakan sampai menyentuh pori-pori. Seduhan kopi terakhir cukup membantu menghangatkan kembali tubuh saya. Tapi saya harus segera berpamitan. Sebelum beranjak pulang, kami berterima kasih sambil menanyakan harga kopi pada Pak Parman.

“Mohon maaf Pak Parman, berapa musti kami bayar ya Pak?”,

Ia menjawab “Nggak usah bayar Mas, gratis sesama Wonosobo, bantu promosikan saja”, ujarnya, lagi-lagi sambil tertawa.

 

 

Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi