Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

[Ngibul #19] Hukum Jante untuk Ahok Arkidam!

author = About Olav Iban
Lulus UGM dua kali. Saat ini bekerja sebagai pegawai negeri sihir dan dosen seni partikelir. Setahun sekali menulis opini di koran lokal.

View all posts by Olav Iban →

Catatan: Tulisan ini hanya cocok dibaca oleh penikmat sastra yang suka berbincang gayeng walau beda pendapat. Tidak untuk penikmat politik, apalagi dengan semangat-semangat kebencian. Santai wae. Ra sah emosi.

***

Ketika mendengar siar berita Ahok divonis penjara, di bibir saya berkembang senyum. Bukannya tidak berduka, bukan pula beria-ria, hanya semata karena teringat Hukum Jante. Dan ketika ingat Hukum Jante, samar-samar muncul seraut rupa bajingan tengik yang gagah berani. Namanya Jante Arkidam!

 

Bila bumi ini bersudut, Hukum Jante dan Jante Arkidam tidak punya hubungan apa-apa dari sudut manapun. Jante Arkidam tidak tahu-menahu apa itu Hukum Jante. Begitu pula Hukum Jante, telah dinubuatkan jauh hari sebelum Jante Arkidam berikrar jadi penjahat. Untuk memahami keterkaitannya, kita mesti mengenal dahulu apa dan siapa kedua Jante ini.

 

Jante Arkidam lahir di tanah Pasundan sekitar tahun 1950an dari puisi—mungkin tepatnya prosa yang mengalir menuju puisikarya Ajip Rosidi. Jante Arkidam adalah penjahat residivis kelas wahid. Serupa bajingan tengik, namun wajahnya tampan. Betina mana yang tidak tenggelam di bidang dadanya. Jante Arkidam itu jagoan. Dinding penjara hanyalah tabir embun baginya. Lunak ruji besi dilintingnya. Jante Arkidam itu sakti mandraguna.

 

Pernah Jante dikepung mantri-mantri polisi dan wedana, terjebak tegak di atas atap. Tapi sekejap mata dipejam, sudah hilang berpindah tubuhnya ke tanah. Sakti! Pernah ia dikepung lelaki satu kampung, di kebun tebu, tapi masih lolos saja ia menjelma jadi perempuan cantik berpantat padat. Saking saktinya, sampai hari ini Jante belum tertangkap. Kata orang, ia lari ke dalam gelap, meniti muka air kali, sampai tiba di persembunyiannya. Itulah Jante Arkidam.

 

Lalu tentang Hukum Jante, kita harus ke Denmark tahun 1931-1938 menjumpai pelaut dari Desa Jante bernama Espen Arnake, seorang tokoh fiktif karya sastrawan Aksel Sandemose dalam bukunya berjudul En Flyktning Krysser Sitt Spor (Seorang Pengungsi yang Melintasi Jalurnya). Jika kau tanya dia apa itu Hukum Jante, ceritanya bakal sepanjang 414 halaman. Lebih mudah kalau kau tanya Paulo Coelho. Tapi, Coelho pun perlu sebuah kasus pengantar untuk menjawabnya dengan utuh.

 

Kira-kira begini saya ringkaskan untukmu. Hukum Jante adalah hukum sosial yang berlaku sejak berabad-abad lampau di Skandinavia. Uniknya, hukum ini juga ada di banyak kebudayaan dunia. Seorang Jawa bisa bilang, “Seperti itulah hukum yang berlaku di kebudayaan kami.” Begitu pula orang Papua bisa berkata, “Hukum itu hanya ada di kampung kami.” Masing-masing berpandangan bahwa pola hukum sosial yang demikian berlaku di lingkup masyarakatnya.

 

Hukum Jante yang ditulis Sandemose dalam novelnya terdiri dari 10 pasal, dan dengan baik disadur oleh Coelho ke dalam satu alenia, “Sikap menerima dan tidak menonjolkan diri adalah pilihan yang paling aman. Kalau kau memilih itu, kau tak akan pernah mengalami masalah besar dalam hidupmu. Tapi kalau kau mencoba berbeda…”

 

Coelho tidak menyelesaikan kalimatnya, namun sudah jelas, jika kau mencoba berbeda dengan melawan arus sosial yang ada, maka hidupmu akan dihajar oleh orang-orang di sekitarmu. Jadi, lebih baik diam sajalah. Jika semisal kau seorang PNS dan tahu kantormu sudah puluhan tahun penuh dengan jaring laba-laba belang korupsi di tembok kraton putih, lalu kau menentangnya, melawannya, menolaknya—siap-siap saja jadi bulan-bulanan orang satu kantor. Melawannya berarti kau melawan hukum Jante. Jadi, lebih baik diam sajalah, dipastikan kau takkan mengalami masalah besar dalam hidupmu.

 

Begitulah saya (yang tak tahu apa-apa tentang kasus Ahok) memandang layar televisi yang sedang menayangkan Ahok berbatik biru melambaikan victory, lalu hilang tenggelam ke dalam bui. Seorang Arkidam kena hukum Jante, rupanya.

 

Saya yakin pembaca (yang lebih tahu tentang kasus Ahok daripada saya) tidak menjumpai kesulitan untuk membangun simpul apa antara Ahok dan hukum Jante. Ahok bersalah. Itulah keputusan sah dari hakim dengan dasar hukum pidana di Indonesia. Dengan ditariknya ajuan banding, Ahok pun patuh menerima konsekuensi dari kesalahannya.

 

Teori konspirasi beredar ke mana-mana, dan yang paling bisa dimaklumi adalah Ahok telah melanggar hukum Jante. Saya tidak ingin berkata bahwa Ahok telah banyak dibenci para koruptor, lalu dicari-cari kesalahannya. Tidak juga bahwa Ahok dari ras atau agama yang tidak “pas” memimpin Jakarta, lalu dijegal sebelum pilkada. Tidak ingin pula saya katakan bahwa Ahok telah mengucapkan kalimat tidak etis di Kepulauan Seribu, lalu dijerat orang dengan lidahnya sendiri. Tidak, tidak, lupakan itu semua. Yang ingin saya katakan adalah Ahok telah melawan tatanan sosial tak-tertulis di Indonesia. Ia dengan terang-terangan menghajar mereka yang korupsi; mengucapkan kalimat yang semua orang tahu tapi tidak pantas diucapkan; maju menjadi Gubernur Jakarta padahal semua kaum minoritas sadar betul bahwa itu konyol. Sudah jelas Ahok melanggar hukum Jante, bahkan berlapis-lapis. Namun, justru dengan semua polahnya itu, Ahok menjadi seorang Arkidam.

 

Untuk menyesuaikan diri pada alenia-alenia yang kemudian nanti, ada baiknya bila kau membaca dahulu puisi Jante Arkidam. Google bisa membantumu. Cerita yang dibangun Ajip Rosidi tentang Jante Arkidam adalah sebuah cerita yang punya kekhasan Indonesia (terutama dalam hal gaya penyebaran rumor-rumornya). Ia merupakan sebuah kisah heroik-nakal yang terdengar cukup jelas dari kejauhan, tapi semakin kau mendekat, kisah itu semakin kabur. Dan saya ingin Jante Arkidam tetap kabur dengan segala kabut abstrak yang menyelimutinya.

 

 

Berhentilah sejenak membaca tulisan ini, dan beralihlah membaca puisi Jante Arkidam.

 

 

Jante Arkidam, dalam kadar tertentu, bisa dikategorikan gila. Tidak punya batasan konkret mana yang baik dan mana yang jahat. Ia menantang siapa saja. Bila lelaki diajaknya bergulat di pematang, bila perempuan diajaknya bergulat di ranjang. Semua lelaki takut, seperti halnya semua perempuan tunduk.

 

Jante Arkidam, dalam kadar tertinggi, adalah jahanam. Ia membobol brankas pegadaian. Menggarong duitnya untuk menyawer selendang ronggeng, lalu mabuk di meja judi. Ia bahkan meniduri janda mantri-polisi yang telah ia bunuh. “Mulut mana yang tidak direguknya, dada mana yang tidak diperasnya?”

 

Kini kau pasti semakin gelisah, karena kau telah membaca puisi Jante Arkidam tapi masih tidak tahu apa hubungannya Ahok dengan Jante Arkidam, jadi saya akan menjelaskannya pada alenia berikut ini.

 

Jante Arkidam punya sesuatu (entah-apa-itu) yang membuat orang-orang menaruh simpati seolah bajingan tengik ini adalah pahlawan. Bukan dari teksnya, melainkan dari bagaimana Jante Arkidam dikisahkan. Balai Bahasa Jawa Barat mendeskripsikannya begini, “Pembaca sajak ini akan  membayangkan dirinya sebagai Jante Arkidam. Pembaca berempati dan bersimpati kepada Jante Arkidam, menyanyikan kemenangan dan juga ketegangannya, yang mengharapkan Jante lolos dari kejaran para pemburunya. Namun, dalam kenyataan, orang akan bertindak sebaliknya, yaitu mengharapkan orang-orang seperti Jante Arkidam tertangkap dengan segera. Penyair (Ajip Rosidi) dengan bijak menangkap aspirasi masyarakat, yang senang dengan ketokohan Jante Arkidam. Meskipun bajingan tengik, Jante Arkidam mampu melakukan apa yang diinginkannya yang tidak dapat diperbuat oleh masyarakat pada waktu itu seperti mempecundangi mantri-polisi dan wedana, yang notabene adalah aparat penjajah Belanda.”

 

Tentu saja kau benar, Ahok bukanlah bangsat jahanam seperti Jante Arkidam. Saya punya keyakinan, tidak ada sama sekali kelakuan Jante yang pernah diperbuat Ahok sepanjang umurnya sekarang. Satu-satunya kesamaan Ahok dengan Jante adalah para pembacanya. Para pembaca, yang dalam keheningan, diam-diam mendukung apa yang diperbuat Ahok dalam perjuangannya melawan ketololan majemuk dengan embel-embel “pembangunan”. Ahok telah melakukan apa yang masyarakat luas tidak berani lakukan. Cukup itu saja. Saya yakin, diam-diam, kau pun setuju dengan ini—apalagi bila kau telah benar-benar membaca puisi karya Ajip Rosidi itu

 

Bagi kau yang kontra-Ahok, janganlah dilarut amarah. Ia sudah dihukum. Nama baiknya pun sudah dibusukkan ke seantero negeri. Bagi kau yang pro-Ahok, tenanglah. Layaknya Arkidam, dinding tembok penjara hanyalah tabir embun, akan lunak ruji penjara dilengkungkan oleh hatinya. Dan, bagi kau yang mengadu-domba si pro dan si kontra, beristirahatlah.

 

Kita hidup di neraka dunia justru karena kita mencoba mendirikan sorga di bumi.

 

Palangkaraya, 2017

 

 

 

Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: http://kibul.in/cara-berkontribusi/

http://kibul.in/ngibul/ngibul-19-hukum-jante-untuk-ahok-arkidam/http://kibul.in/wp-content/uploads/2017/06/featahok.jpghttp://kibul.in/wp-content/uploads/2017/06/featahok-150×150.jpgOlav IbanNgibulAhok,Ajip Rosidi,Budaya,Hukum Jante,Jante Arkidam,kibul,ngibul,Olav Iban,Paulo Coelho,Puisi,Sastra,Sastra IndonesiaCatatan: Tulisan ini hanya cocok dibaca oleh penikmat sastra yang suka berbincang gayeng walau beda pendapat. Tidak untuk penikmat politik, apalagi dengan semangat-semangat kebencian. Santai wae. Ra sah emosi.
***
Ketika mendengar siar berita Ahok divonis penjara, di bibir saya berkembang senyum. Bukannya tidak berduka, bukan pula beria-ria, hanya semata karena…
Bicara Sastra dan Sekitarnya