Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

[Ngibul #18] Sebuah Usaha Menjadi dan Mencintai Indonesia

author = About Fitriawan Nur Indrianto
Lulusan program studi pascasarjana Ilmu Sastra FIB UGM. Menulis Puisi. WNI keturunan Mbah Wongso Dikoro. Menerima curhat.

View all posts by Fitriawan Nur Indrianto →

Seingat saya, kesadaran kebangsaan  pertama kali ditanamakan pada diri saya ketika mengenyam pendidikan di sekolah dasar.  Di dalam usia yang masih sangat muda itu, saya mulai diperkenalkan dengan kata “Indonesia”, Pancasila, lambang Burung Garuda, bendera Merah Putih, teks UUD 1945 dan lain-lain. Seragam sekolah yang saya kenakan juga terdiri dari dua warna, putih dan merah. Di usia itu pula saya diperkenalkan lagu kebangsaan Indonesia Raya, lagu-lagu perjuangan dan juga lagu-lagu daerah.  SD saya bahkan memiliki kolam ikan yang di dalamnya termuat peta Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di masa itu pula, saya mulai diajak lebih dalam mendalami kebangsaan itu. Saya mulai diperkenankan dengan mata pelajaran sejarah, diminta oleh guru untuk menghafal nama-nama presiden dan wakil presiden RI, menteri kabinet, pasal-pasal dalam UUD 1945 dan seterusnya. Pelajaran-pelajaran itu membuat saya secara tak sadar mengakui diri sebagai bagian dari bangsa Indonesia.

 

Akan tetapi, apa yang saya dapat di waktu SD itu bagi saya hanyalah sebuah pengetahuan yang sifatnya abstrak saja. Saya belum benar-benar mengalami apa yang dinamakan sebagai Indonesia itu secara konkrit. Semua yang diperkenalkan di atas hanyalah simbol-simbol belaka. Terlebih pada semboyan yang kita kenal sebagai “Bhinneka Tunggal Ika”. Dalam konteks kebangsaan ini,  saya belum pernah bertemu dengan mereka yang dikatakan satu bangsa tapi berbeda. Hampir dipastikan di daerah saya, masyarakat yang ada adalah masyarakat yang homogen. Hampir semua anak beragama Islam, bersuku bangsa Jawa, berkulit sawo matang. Artinya bahwa, apa yang dinamakan sebagai Bangsa Indonesia dalam alam pikiran saya masihlah benar-benar  dalam arti sempit. Orang Papua, Orang Makassar, Orang Minangkabau, Orang Dayak, dan lain-lain hanya saya kenal dari gambar yang terdapat pada buku atlas ataupun buku pelajaran IPS. Selebihnya dalam kehidupan sehari-hari hanya orang Jawa saja. Dalam pergaulan di luar sekolah pun, saya tidak pernah menemui anak yang mengenakan kalung salib di lehernya, Tidak pernah melihat orang membakar dupa dan pergi ke Pura, atau melihat orang-orang membawa semacam tasbih besar, berkepala “botak” layaknya pendekar-pendekar shaolin. Dengan demikian, bisa dipastikan pada saat itu kesadaran Indonesia bagi saya sangatlah sempit sebatas muslim dan Jawa sementara kesadaran akan “liyan” hanya sebatas abstraksi yang semi-diimani.

 

Ketika memasuki usia SMP, keberagaman itu mulai saya temui. Beberapa dari guru sekolah saya berbeda agama dengan saya. Tapi keberagaman itu baru terasa mencolok setelah masuk saya sekolah SMA. Untuk pertama kalinya saya memiliki teman akrab yang berbeda agama. Dari sanalah keberagamaan itu mulai terasa. Bergaul dengan mereka “berbeda” ternyata sama saja dengan bergaul dengan kawan-kawan yang seiman. Hampir tidak ada sekat sekat sama sekali. Bahkan bisa dikatakan justru sangat hangat dan intim. Keintiman dalam keberagamaan semakin terasa ketika mulai mengenyam pendidikan di Universitas. Dari sanalah saya mengenal banyak teman dari berbagai daerah. Perbedaan-perbedaan mulai terasa sudah terasa ketika mulai mendengar gaya bicara mereka, mulai dari dialek sampai diksi-diksi lokal yang digunakan dalam percakapan bahasa Indonesia. Hal tersebut awalnya terkesan “unik” dan “lucu” namun lama kelamaan terasa  mengesankan. Pengalaman mengenai keberagaman itu semakin memperkaya khasanah “kemanusiaan saya”. Tetapi seiring dengan waktu pula mulai timbul pertanyaan, bagaimana dengan nasionalisme? Bagaimana dengan keIndonesiaan?

 

Sama halnya menghadapi keberagamaan agama maupun etnisitas di atas, semakin   beranjaknya usia, saya seringkali bingung ketika dihadapkan dengan bendera Merah Putih, lambang Garuda Pancasila, peta Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan tentu saja apa yang selama ini tak sadar saya gunakan sehari-hari: bahasa Indonesia. Ketaksadaran nasional yang saya peroleh dulu seolah hilang. Kemudian muncul pertanyaan mengenai itu semua. Apakah semua itu datang dan harus saya terima sebagai taken from granted? Apakah itu lahir dari sebuah doktrin keimanan yang ditanamkan terus menerus dan saya wajib mengimaninya? Bagaimana jika saya menolaknya? Perasaan apa yang musti saya tanggung untuk membuat sebuah ikatan bahwa saya sebangsa dengan si Made, si Ujang, Si Nasution dan sebagainya? Jika nasionalisme diibaratkan sebagai sebuah tali, akankah ia akan menjadi pengikat yang menyatukan, ataukah justru akan menjadi sebuah pengikat yang mengekang/membelenggu?

 

Pertanyaan-pertanyaan itu tiba-tiba muncul kembali pada momentum peringatan hari lahir Pancasila. Kalau diperhatikan, akhir-akhir ini fenomena kebangsaan Indonesia memang sedang dirongrong dengan adanya isu islamisme dalam bentuk pendirian khilafah. Pancasila kembali dipertanyakan sebagai sebuah ideologi sehingga Pemerintah pun musti menjadikan momen hari lahir Pancasila sebagai hari libur nasional dan memperingatinya dengan upacara bendera. Hal tersebut tentu memberikan gambaran bahwa di masa sekarang, hal-hal mengenai nasionalisme mulai dipertanyakan kembali. Generasi muda mulai kehilangan identitas nasionalnya sehingga Negara perlu untuk melakukan indoktrinisasi mengenai kesadaran kebangsaan.

 

Bangsa adalah sebuah komunitas terbayang. Orang-orang yang berada pada tempat yang berbeda, tidak pernah saling bertemu dan berkenalan, merasa dalam satu ikatan sebagai sebuah komunal yang sama. Bangsa terbentuk dari sebuah kesadaran yang sama. Salah satunya adalah perasaan senasib sepenanggungan. Dalam konteks keIndonesiaan, kesamaan nasib itu tercipta pada masa awal Kebangkitan Nasional, ketika para pemuda dari berbagai daerah di Nusantara mengikrarkan diri sebagai sebuah bangsa melalui momentum sumpah pemuda. Mereka merasa bagian dari sebuah masyarakat yang sama sama tertindas oleh kekuasaan Kolonial Belanda. Mereka-mereka itu punya satu kesadaran dan cita-cita untuk bebas dari belenggu penjajahan, menjadi manusia-manusia merdeka.

 

Untuk mewujudkan cita-cita nasional itu maka pada tanggal 17 Agustus 1945 diproklamasikanlah sebuah wadah kebangsaan bernama Negara Indonesia yang sekarang diberi nama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan kata lain, yang dimaksud bangsa Indonesia adalah segenap masyarakat, individu-individu yang bersatu dalam sebuah kelompok besar bernama bangsa Indonesia. Dalam perkembangannya, beberapa kelompok masyarakat yang memiliki cita-cita berbeda kemudian hendak mendirikan sebuah komunitas sendiri, mendirikan Negara sendiri. Banyak kemudian muncul usaha-usaha untuk keluar dari komunitas itu dan mendirikan wadah sendiri. Negara kemudian menamakanya sebagai sebuah gerakan separatis. Usaha Negara untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan menumpasnya. Terlepas dari proses sejarah tersebut, saya hendak mengembalikan makna kebangsaan itu dalam setiap individu, terutama diri saya sendiri. Saya mulai dengan pertanyaan apakah Indonesia itu dan apakah makna Indonesia bagi diri saya. Tetapi untuk menjawab pertanyaan tersebut terus terang saya masih kebingungan. Untuk memecahkan teka-teki itu saya akan mulai dengan beberapa contoh dan mungkin pengandaian.

 

Sebagai contoh pengandaian misalnya: Entah apa yang dipikirkan oleh Diego Michiels, Raphael Maitimo, Tonnie Cusell, Stefano Lilipaly dan pemain-pemain sepakbola naturalisasi keturunan Belanda itu. Ketika mereka sudah sejak lama menjadi warga Negara Belanda pada akhirnya mereka kemudian berpindah menjadi warga Negara Indonesia. Apakah dengan begitu mereka kemudian secara otomatis menjadi bagian dari bangsa Indonesia? Apakah mereka memiliki nasionalisme? Barangkali kita bisa menjawabnya ya tetapi juga tidak. Salah satu unsur penting dalam nasionalisme adalah kecintaan kepada tanah air. Artinya, untuk memiliki sifat nasionalis, seseorang haruslah mencintai tanah airnya. Barangkali nasioanlisme mereka berawal dari cita-cita untuk menjadi pesepakbola yang bisa berlaga pada laga internasional menggunakan bendera Negara, Maka mereka memilih menjadi WNI. Dengan diterima dan diakuinya mereka sebagai bagian dari WNI sekaligus sebagai bagian dari bangsa Indonesia maka mereka pun mulai mencinta. Wujud nasionalisme itu muncul dari sebuah  timbal balik dari pengakuan, bahwa kekuatan, kemampuan mereka sebagai pesepakbola unggul diakui dan dibutuhkan. Dari apa yang dinamakan simbiosis mutualisme tersebut kemudian lahirlah keikhlasan mencinta, barangkali dari sanalah nasionalisme itu terbentuk.

 

Bagaimana dengan para pebulutangkis peranakan Tionghoa yang berlaga di olahraga badminton? Barangkali mereka berbeda dengan contoh orang-orang di atas meskipun bisa juga sama.  Para pebulutangkis seperti Hariyanto Arbi, Susi Susanti, Ardy B. Wiranata, Liem Swie King, dan lain-lain adalah orang-orang yang sudah sejak awal tinggal dan menetap di belahan bumi yang “diklaim” sebagai wilayah NKRI. Barangkali, kesadaran nasional mereka sudah terbentuk dari sebuah kecintaan. Awalnya barangkali hanya kecintaan pada olahraga. Tetapi kemudian kemampuan mereka dihargai. Mereka masuk ke event olahraga Internasional dan menang. Mereka berhasil mengharumkan nama Indonesia. Bisa jadi nasionalisme mereka terbentuk dari pengakuan Negara, tetapi bisa jadi mereka memang sejak awal sudah cinta. Nasionalisme mereka terbentuk dari kesadaran abstrak sebagai  bagian dari komunitas terbayang (?).

 

Lalu bagaimana dengan saya? Apakah saya harus mengakui sebagai bagian dari bangsa Indonesia? Apakah saya harus mencintai Indonesia? Sebelum melangkah lebih jauh pada pertanyaan-pertanyaan lain saya hendak memikirkan dua pertanyaan tersebut. Kalaupun dimulai dari apa yang dinamakan tanah air, maka saya harus mengakui bahwa saya tinggal di tanah bernama Indonesia. Tapi saya harus menghapus terlebih dahulu kata Indonesia. Ambillah kesimpulan saya hidup di tanah tak bernama. Ternyata, tanah itu dikuasai oleh orang-orang jahat. Di dalamnya saya ditindas. Ketika melihat kanan kiri, saya melihat juga teman-teman saya juga menderita. Apakah saya akan diam, takluk? Naluri sebagai manusia yang ingin bebas tentu memaksa saya untuk melawan. Baiklah, pada akhirnya saya melawan. Lalu saya mendirikan sebuah persekongkolan: perkumpulan yang kuat agar lebih mudah mengatasi musuh-musuh. Dari sanalah saya merasa aman. Dalam titik inilah, saya kemudian menyadari dan flashback pada sejarah kemunculan bangsa Indonesia. Artinya bahwa, untuk bisa memiliki semangat yang sama dengan generasi 1928 dan generasi 1945 saya harus menjadi generasi yang bersatu untuk melawan segala ketidakadilan, menjadi sebuah komunitas yang bebas dan merdeka. Semangat itu muncul bukan hanya pada hasrat individual yang ingin merdeka, tetapi merupakan semangat kelompok, merasakan penderitaan bersama atas apa yang dialami oleh sekeliling. Pada titik ini, saya meskipun belum mengakui diri sebagai bangsa Indonesia tetapi mulai memiliki kesamaan perasaan dengan para pendiri bangsa ini.

 

Pada tahap selanjutnya, usaha untuk sepenuhnya bebas adalah dengan memperjuangkan kebebasan/kemerdekaan tersebut. Usaha itu adalah dengan terus membentengi diri. Pada tahap ini mungkin doktrin bahwa generasi pasca kemerdekaan memiliki tanggungjawab untuk mempertahankan apa yang diperjuangkan oleh para pendiri bangsa bisa disejajarkan dengan cita cita saya untuk merdeka. Dengan kata lain, bisa dikatakan saya berada dalam posisi yang sama dengan generasi bangsa Indonesia pasca kemerdekaan. Usaha tersebut adalah sebuah penghargaan bagi mereka yang telah berjuang dengan susah payah. Pada tahap inilah pada akhirnya saya harus mengembalikan semuanya. Tanpa adanya pejuang Republik Indonesia, saya mungkin akan tinggal di sebuah wilayah yang didalamnya dihuni oleh kekuatan penjajah kolonial. Tentu saya akan berat menjalaninya. Oleh sebab itu pantaslah bersyukur dan berterimakasih pada usaha-usaha para pendiri bangsa itu.

 

Kalaupun kemudian saya harus menjadi dan mencintai Indonesia,  saya harus mengajukan beberapa syarat. Minimal, saya harus memiliki kesamaan cita-cita yang sama mengenai konsep keIndonesiaan agar saya bisa menerimanya. Lalu acuan apa yang harus saya gunakan. Pada momentum peringatan hari lahirnya Pancasila saya mencoba untuk membuka kembali ingatan dan pemahaman saya mengenai pancasila. Pancasila dipandang sebagai landasan ideologis kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Apakah pandangan yang ada dalam Pancasila sama dengan saya. Saya hendak melihat dari beberapa contoh yang mudah ditemui  yakni pada sila-sila Pancasila (Pancasila juga kemudian diuraikan dalam butir-butir Pancasila yang saya tidak hafal). Kelima sila dalam Pancasila berisi tentang perkara

  1. Berketuhanan yang Maha Esa
  2. Berkemanusian yang adil dan beradab
  3. Persatuan Indonesia
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
  5. Berkeadilan sosial

Tanpa saya uraikan panjang lebar (yang tidak akan selesai dalam tulisan ini) secara singkat dapat saya bayangkan bahwa kelima hal dalam sila Pancasila itu sangat baik. Agaknya tidak ada yang terlalu berseberangan dengan alam pemikiran saya. Mungkin pada kesempatan lain saya akan menguraikannya, mungkin mendekonstruksinya, bahkan menentangnya. Tapi untuk saat ini cukup dulu. Artinya saya menerima Pancasila sebagai Falsafah, pandangan idelogi yang tidak bertentangan dengan pandang hidup saya saat ini. Oleh karena itu bolehlah saya menaruh hormat pada Pancasila. Dengan demikian pula ada dua hal yang mendukung saya untuk menjadi Indonesia. Pertama atas hormat saya kepada para pendiri bangsa Indonesia dan yang kedua pada Pancasilanya.

 

Lalu bagaimana dengan masyarakat dari suku bangsa lain, dari Sabang sampai Merauke. Orang Aceh, Batak, Minangkabau, Sunda, Bali, Dayak, Sasak, Badui, Makassar, Bugis, Asmat, Tionghoa dan lain-lain? Apakah saya harus menerima mereka sebagai satu bangsa? Sejauh orang-orang yang saya kenal selama ini dalam perjalanan hidup, saya menemukan kedamaian berada bersama mereka. Saya sendiri mengklaim mereka adalah bagian dari saya, begitu juga mereka bagian dari saya. Terlepas nanti jika saya mengenal orang-orang dari luar NKRI, mungkin pandangan saya akan berubah, mungkin juga tidak. Tetapi saya telah menganggap mereka sebagai saudara. Tidak mungkin dalam hidup saya akan bertemu dengan semua orang itu, mereka yang berada dalam komunitas-komunitas itu. Hanya saja dalam pengalaman saya, mereka adalah bagian yang tak terpisahkan dari diri saya.

 

Lalu apakah saya telah sepenuh hati menjadi dan mencintai Indonesia? Saya belum punya jawaban tepat. Tapi paling tidak beberapa hal yang saya sampaikan di atas seolah mengikat saya, menjadikan saya menjadi lebih kuat. Tentu saya tidak bisa sendiri di dunia ini. Kalaupun ikatan bernama Indonesia itu ada, paling tidak saat ini setelah berdialog dengan diri sendiri saya mulai menikmatinya.

 

 

 

 

Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: http://kibul.in/cara-berkontribusi/

http://kibul.in/ngibul/ngibul-18-sebuah-usaha-menjadi-dan-mencintai-indonesia/http://kibul.in/wp-content/uploads/2017/06/featindri.jpghttp://kibul.in/wp-content/uploads/2017/06/featindri-150×150.jpgFitriawan Nur IndriantoNgibulBudaya,Fitriawan Nur Indrianto,Indonesia,kibul,Nasionalisme,ngibulSeingat saya, kesadaran kebangsaan  pertama kali ditanamakan pada diri saya ketika mengenyam pendidikan di sekolah dasar.  Di dalam usia yang masih sangat muda itu, saya mulai diperkenalkan dengan kata “Indonesia”, Pancasila, lambang Burung Garuda, bendera Merah Putih, teks UUD 1945 dan lain-lain. Seragam sekolah yang saya kenakan juga terdiri…Bicara Sastra dan Sekitarnya