Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Melarung Sesajen Luka

author = Sinta Ridwan

Ujung wajah layung sedikit mengintip dari balik awan saat kakiku yang bersepatu biru menapaki Terminal Harjamukti, Cirebon. Baru kutumpangi bus Bandung-Cirebon dari Jatinangor. Aku dilanda rindu kepada Mimi dan ingin segera sampai rumah. Perjalananku belum selesai di terminal ini, aku masih harus menyambung elf mengarah Tegal. Posisi tempat tinggalku tepat di sebelah sungai yang berbatasan langsung dengan Jawa Tengah.

Ekor mataku bergerak ke kanan dan kiri sebelum melangkah lagi dan mencapai puncak keriuhan di terminal sore ini. Suasananya mirip menjelang dan sehabis Lebaran, hampir dipadati penumpang dan banyak bus yang berlalu-lalang. Aku lupa kalau minggu ini adalah minggu terakhir penghujung tahun. Daun telingaku bergerak mendengar teriak kernet elf yang menyebut tujuan, “Tegal, Tegal!”

Langkah kaki kuperpanjang dan dipercepat. Andai tidak kulakukan, hampir ditinggalnya aku oleh elf hitam yang sudah berpenumpang penuh itu. Ditambah, aku sempat berhenti dulu tadi, meski hanya sepersekian detik demi menyedot sisa oksigen yang ada di lingkungan terminal ini. Udara yang lain sudah bercampur knalpot dan debu yang berkeliaran. Dadaku masih saja berdegup kencang, padahal sudah duduk di samping sopir. Kuelus-elus dada untuk menenangkan diri. Sesak kian bersarang di paru, gelombang asap rokok yang keluar-masuk dari bibir sopir membuatku terbatuk-batuk.

“Jangan kambuh di sini, kumohon,” bisikku kepada dada yang sedang meringkih ini.

Sepanjang perjalanan dari terminal ke rumah Mimi di Losari, tepatnya berada di Kampung Ambulu, terasa angin Pantura menampar kencang wajahku lewat jendela pintu elf yang menganga. Aku urung menutup jendela, karena kepulan asap rokok sopir tiada henti melambung. Ah, sudahlah, biar kurasa saja angin dari arah laut itu. Aku tak sabar ingin segera bertemu Mimi dan bercerita banyak hal. Kepulanganku ini, selain libur akhir tahun, juga ingin menghadiri acara adat nelayan di kampung ibuku itu.

Mimi panggilan ibuku, ia asli Ambulu. Kampung nelayan itu termasuk yang masih bertahan dan ada beberapa jenis produktivitas ekonominya masih aktif selain menangkap ikan. Mimi sendiri bekerja sebagai pengupas rajungan. Perusahaan tempat ia bekerja itu mengirim daging rajungan olahan yang ditangkap nelayan kampung sampai ke Amerika. Mimi bekerja tiap hari, mulai pukul satu malam sampai tujuh pagi. Ia bekerja sedari gadis, sebelum menikahi Mama.

Mamaku seorang nelayan, ia meninggal tahun lalu akibat tenggelam saat mengikuti ritual adat kampung nelayan. Waktu itu ketua adat memutuskan untuk melarungkan kembali satu kepala kambing ke tengah laut bersama isi sesajen lain, dibandingkan dengan kampung pesisir lain, kampung kami satu-satunya yang menyedekahkan tiga kepala kambing, sementara kampung lain masih memegang tradisi, yaitu melarung satu kepala kerbau. Sudah tiga tahun berturut-turut kesepakatan kampungku mengganti kepala kerbau dengan kepala kambing. Konon, mereka merasa mubazir. Atau bisa jadi, menurutku, mereka masih merasa trauma, karena tiap tahunnya kampung kami dilanda kejadian yang aneh-aneh dan tak dapat dipercaya.

Sebenarnya, salah satu tujuanku ikut acara kampung untuk memperingati satu tahun Mama. Meski Mimi tidak merayakan secara khusus karena aku tahu ia tak memiliki uang untuk melaksanakan peringatan Mama, aku pribadi ingin melakukan sesuatu untuk mengingat Mama. Yaitu melarung bunga dan doa yang masih bermekaran.

Tradisi melarung di kampungku merupakan agenda perayaan pesta laut setiap tahunnya di awal musim hujan waktu pelaksaannya. Pesta laut sendiri acaranya penuh dengan hiburan selain ritual yang melarungkan sebuah kapal buatan berisi sesajen utama dan lantunan doa minta keberkahan yang diucapkan kuncen secara khusus di atas kapal yang berada di tengah laut. Hiburan-hiburan yang biasa ditanggap ada pertunjukan sandiwara, wayang kulit, tarling, dangdut, tari topeng, dan masih banyak lagi kesenian lainnya. Kesemuanya itu diadakan serentak dari malam pertama dimulai sampai malam ketiga habis. Dari pagi pertama membuka cakrawala hingga pagi ketiga melahap habis matahari. Demi terselenggaranya pesta laut yang lancar dan bisa menanggap beberapa hiburan, tiap warga kampung oleh panitia yang sengaja dibuat tiap tahunnya, diminta udunan[1]Urunan, patungan. dengan jumlah yang sudah ditetapkan di rapat tahunan kampung.

Di beranda yang diterangi lampu dari pinggir jalan, aku sudah menunggu Mimi yang tak ada di dalam rumah sekitar setengah jam. Tampaknya ia sedang berada di mushola seberang rumah. Biar kutunggu saja di luar rumah ini, karena memang aku tak membawa kunci rumah Mimi, lupa kubawa serta, kunci itu masih menggantung di dinding sebelah meja belajarku. Kulihat Mimi memasuki halaman depan.

“Mi, nembé balik tah?[2]Mi, baru pulang? sapaku, setelah mengucap salam sambil menciumi punggung tangannya yang berbau laut itu beberapa kali. Tradisi mencium tangan seperti ini sudah turun temurun di keluarga kami. Mimi tampak kaget melihatku muncul dari balik cahaya bohlam depan rumahnya sendiri. Aku juga sebenarnya sedikit kaget melihat Mimi muncul dari balik kegelapan mengenakan atasan mukena warna putih kusam. Dari kejauhan seperti, ah tak ingin kusebutnya itu.

“Eh, Nok. Ira wis balik. Tak sangka, ira bli inget mlaku balik ning umah blésak ini. Arêp mangan tah, Ta? Mimi cuma nggawé tempe tahu mau awan.[3]Nok (panggilan perempuan). Kamu sudah pulang. Kukira, kamu tidak ingat jalan pulang ke rumah jelek ini. Mau makan tidak, Ta? Ibu hanya masak tempe tahu tadi siang. Sindiran Mimi yang ada di kalimatnya barusan membuatku tersenyum simpul.

Mimi selalu menyebut rumahnya itu jelek hingga membuatku menjadi jarang pulang. Padahal, rumah Mimi yang terbuat dari kayu jati ini sudah berumur gemuk nan menawan di mataku yang suka dengan benda-benda bersejarah. Bagiku, rumah Mimi ini salah satu artefak yang pasti menyaksikan banyak peristiwa yang terjadi. Apalagi Mimi dapat rumah ini secara turun-temurun di keluarga besarnya.

Aku disuguhi makan malam yang nikmat, setelah membersihkan debu-debu yang menggantung di tubuhku sepanjang perjalanan. Kusantap lahap orek tempe ditambah goreng ikan asin dadakan dan juga sambal terasi. Bersama sayur asam, semuanya lengkap. Nikmat. Mimi telah bercanda tadi denganku dengan mengatakan ia hanya punya tahu dan tempe saja di meja dapurnya.

Di Jatinangor, mana bisa kutemui makanan dengan rasa yang Mimi suguhkan ini, karena masuk di wilayah Sunda Priangan dengan karakter manisnya berbeda rasa dengan makanan ala pesisiran macam kampungku ini. Bagi orang Sunda sendiri, makanan manis itu biasanya makanan Jawa. Namun, bagi kami yang tinggal di pesisiran ini, masakan khas Sunda sama manisnya dengan masakan khas Jawa. Termasuk pengalaman lidahku sendiri, sepertinya semua warung di tempatku belajar berasa giung. Namanya sayur asam, tapi rasanya seperti gula merah dicemil. Berbeda sayur asam yang dimasak Mimi, rasanya lebih gurih, asam, dan asin dengan sedikit manisnya.

Rasa nikmat masakan Mimi membuatku melupakan pikiran-pikiran yang bersarang di kepalaku. Sampai-sampai aku tak sadar kalau Mimi memperhatikan raut wajahku sedari tadi, yang seperti menunjukkan masalah-masalah yang tak terucap.

“Cem-cemané bli mélu nang kéné, Ta?[4]Pacarnya tidak ikut kemari, Ta? Tiba-tiba Mimi menanyakan pacarku yang pernah bertemu sekali pada tahun lalu ketika Mama mangkat. Namanya Syarif, ah, tapi ia sudah bukan pacarku lagi, sejak dua hari yang lalu tepatnya.

“Bli, Mi,[5]Tidak, Bu. aku menggeleng, lalu menunduk seakan kepalaku terbenam di tanah.

“Napa? Mama’é tah?[6]Kenapa? Bapaknya, ya?Aku kaget mendengar Mimi bertanya seperti itu. Aku mengangguk pelan. Kuingat-ingat lagi, apa aku pernah bercerita soal bapaknya Syarif yang tidak menyetujui hubungan aku dan Syarif, ya?

Sebenarnya aku memiliki beban datang ke kampung seperti ini, satu sisi aku rindu ibuku sendiri, tapi sisi lain aku merasa dipandang aneh oleh warga kampung. Di kampungku sangat jarang ada perempuan yang belum menikah di atas usia dua puluh tahunan. Apalagi aku sudah menginjak kepala tiga, semakin berat saja bebanku. Aku juga menyadari kondisi Mimi, pasti ia juga mendapat omongan dari tetangganya.

Namun, aku punya alasan sendiri kenapa aku belum mau menikah sampai usia segini, aku sedang mengejar sesuatu dulu, dan aku sering meminta maklum dari Mimi. Agar ia bisa paham dengan apa yang sedang kulakukan ini.

“Mi, Mimi bangga bli duwé anak kaya kula? Kang bisa sekola sampé duwur mengkénén.[7]Bu, Ibu bangga tidak punya anak seperti saya? Yang bisa sekolah sampai tinggi begini. Kepalaku dijatuhkan ke bahu Mimi. Lupa cuci tangan di kobokan. Kubiarkan sisa sambal yang menempel di sela jari. Meski panas masih terasa. Tak ada yang lebih nyaman di dunia ini selain bersandar di bahu Mimi sambil berkeluh kesah.

Mimi mengelus-elus rambutku, “Pisan, Nok. Ira siji-siji’é wadon ning kéné kang bisa sekola sampé apa jaré’é? Master? Kayak Deddy Corbuzier baé ira master sulap.[8]Bangga sekali, Nak. Kamu satu-satunya perempuan di sini yang bisa sekolah sampai apa namanya? Master? Seperti Deddy Corbuzier saja kamu master sulap. Tampak Mimi sedang nyengir. Mungkin ia sedang membayangkan suatu saat nanti kepalaku akan botak seperti pesulap itu.

“Iya, Mi, wis master. Délat maning kula dadi doktor.[9]Iya, Bu, sudah master. Sebentar lagi aku jadi doktor. Kulihat Mimi masih menyengir semringah. Entah ia paham atau tidak dalam membedakan istilah master dan doktor. Bisa jadi di pikirannya doktor adalah dokter. Apa Mimi tahu juga kenapa aku sekolah terus? Ucapan-ucapanku tentu saja urung dilontarkan padanya. Selama ini aku ingin terus sekolah tinggi demi menyamakan diri dengan ayahnya pacarku. Ups, mantanku, sekarang. Namun, aku seperti kehilangan setengah energi ketika menghadapi berakhirnya hubunganku dengan Syarif, seolah sia-sia sudah apa yang sudah kulakukan selama ini.

“Nok, Mimi bli bisa mai ira duwit kang akéh kanggo sekola. Mimi ya cuma sekola sampé SD baé. Tapi Mimi setuju baé, ira sekola duwur.” Aku tersenyum mendengarnya. Tenang. Kuceritakan kepadanya kalau aku tidak akan pusing lagi sekarang soal biaya sekolah dan hidup sehari-hari. Aku mendapatkan beasiswa dari dinas pendidikan untuk melanjutkan kuliah program doktor di Belanda.

Namun, aku khawatir meninggalkan Mimi sendiri di sini. Aku berencana jika kondisi keuanganku stabil, rasanya ingin mengajak Mimi juga.

“Ira napa, Nok?” Mimi tahu di wajahku melipat kesedihan dan kekhawatiran, tapi aku tidak mau menunjukkan sedih di hadapannya. Aku menikmati percakapan dengan Mimi seperti ini, menggunakan bahasa ibu sendiri. Hal yang sering kurindukan. Mimi tak terbiasa berbahasa Indonesia, dalam kehidupan sehari-harinya dan lingkungan di kampungnyalah yang masih membiasakan berbahasa yang disebut ahli bahasa sebagai bahasa Jawa-Cirebonan daerah pesisiran.

Kulihat meski dalam kehidupannya Mimi berbahasa Jawa-Cirebonan, ia sering melatih diri mendengarkan bahasa Indonesia lewat radio dan televisi. Ia mampu memahami ketika mendengarkan orang lain berbahasa Indonesia, tetapi ketika akan mengucapkannya, lidahnya tak terbiasa. Itu kenapa ia bisa tahu siapa itu master sulap, ya pasti dari televisi.

Andai aku tidak disuruh keluar kampung untuk sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas oleh Mama dulu, mungkin aku tidak bisa sekolah sampai di Jatinangor. Mama memaksaku untuk sewa kamar dan hidup mandiri. Daripada harus bolak-balik dari kampung ke kota, Mama menyarankan sewa kamar. Tentu saja ada banyak perjanjian di dalamnya, Mama tidak melepaskanku begitu saja, misalnya aku sewa kamar yang posisinya dekat dengan rumah saudara Mama di kota, jadi Mama lebih tenang ketika tahu ada yang memantau dan mengawasiku.

Aku menghela napas dalam.

“Syarif, Mi. Kula dipegati. Jaré’é wong tuwo’é bli gêlêm karo kula. Jaré’é kula miskin lan penyakitan. Bapa’é ‘kan profesor, Mi. Béda kelas jaré’é. Bapa’é péngéné karo kang sugih.[10]Syarif, Bu. Dia memutuskan saya. Katanya, orang tuanya tidak setuju dengan saya. Katanya saya miskin dan penyakitan. Bapaknya ‘kan profesor, Bu. Beda kelas katanya. Bapaknya inginnya sama yang kaya. Aku menahan air mata yang sudah ditahan sedari dua hari lalu. Semenjak Syarif mengenyahkanku dari hidupnya, kekuatan cita-citaku untuk sekolah tinggi demi melawan ayahnya tak lagi sekokoh pertama kali aku memutuskan lanjutkan sekolah.

“Mimi hatur hampura. Dudu wong sugih. Cuma pengupas rajungan. Dudu profesor kaya bapa’é Syarif.[11] Ibu minta maaf, ibu bukan orang kaya. Hanya pengupas rajungan (kepiting laut). Bukan profesor seperti bapaknya Syarif.Wajah Mimi sedikit berubah, tak lagi ada senyum di bibirnya, wajahnya seperti dirundung awan yang menggulung sisa malam.

Aku menjelaskan kepada Mimi ini bukan soal kaya atau miskin, apalagi menyesali lahir dari rahim Mimi. Aku malah bersyukur lahir dari seorang Mimi yang sungguh kuat menjalani hidup ini, apalagi setelah Mama berpulang. Rasanya pasti kehilangan banyak hal ketika setiap hari ada yang menemani, ada yang membantu, ada yang dilihat, dibandingkan sekarang yang diselimuti kesendirian.

Kuperhatikan dengan saksama lekuk-lekuk di wajah Mimi yang berkerut cahaya bohlam. Aku menjadi sadar diri untuk siapa seharusnya aku menyelesaikan dan menggapai cita-citaku. Ini kulakukan demi memperbaiki hidupku dan demi Mimi.

“Lita, apa ira blajar ning sekolah kanggo muas-muasi napsu angkara karo bapa’é Syarif? Mimi wêru ira gelisah arêp pisan kawin, wis umur’é ongkoh. Tapi lamun Syarif bli gêlêm ya uwis. Ngko pasti ana maning. Jodo bli pernah salah, Nok. Uwis, aja balas dendam karo keluarga’é Syarif. Ikhlasi baé. Fokus karo sekola ira déwék. Mimi dukung pisan. Bangga karo ira. Kang penting ira sehat lahir batin. Supados lupus’é bli kambuh baé. Mangan kang akéh.[12]Lita, apa kamu belajar di sekolah untuk memuaskan nafsu amarah kepada bapaknya Syarif? Ibu tahu kamu gelisah ingin sekali nikah, sudah umurnya juga. Tapi kalau Syarif tidak mau, ya sudah. Nanti pasti … Continue reading

Mendengar perkataan Mimi, aku seperti dihajar oleh waktu. Ya, aku sadar, sesadar-sadarnya. Aku juga harus memperhatikan kesehatanku sendiri, kalau terlalu larut pada kesedihan dan amarah, lupusku bisa kambuh tiba-tiba tak mengenal waktu. Aku memiliki lupus sejak sepuluh tahun lalu. Akibatnya belum diketahui oleh dunia kedokteran. Namun, menurutku mungkin kebiasaanku yang jelek yang mendatangkan lupus ke dalam hidupku, seringnya begadang dan hampir tidak tidur, tidak mengonsumsi makanan bergizi dan lebih menahan lapar sejak pergi dari kampung demi sekolah sejak umur belasan tahun, terlalu banyak mengonsumsi makanan yang instan, sering terlalu capai melakukan kegiatan, atau mungkin juga sering terkena sinar matahari yang berlebih dan bisa jadi juga karena aku sering mengonsumsi obat-obatan kimia sedari hidup sendiri. Kalau di kampung, Mimi pasti mengobatiku dengan jamu bila aku sakit.

Aku tak usah menjelaskan banyak hal tentang lupus yang kumiliki ini, aku tak ingin membebani Mimi terlalu banyak, biar saja kutanggung sendiri. Telah tiba saatnya aku tak boleh terpuruk begini, di dekat Mimi yang sudah memahami kondisiku, aku menjadi lebih tenang menapaki anak-anak tangga menunggu cita-cita. Harus kusudahi percakapan yang membuat hatiku mengiris. Aku harus tunjukkan senyum pada Mimi, ibuku sendiri, satu-satunya orang berharga yang kumiliki di dunia ini.

Di penghujung malam, Mimi banyak ngewejangiku, katanya menuntut ilmu harus dengan niat ibadah. Ilmu dipelajari untuk disebarkan lagi kelak. Soal jodoh dan memiliki keturunan yang dipermasalahkan keluarga Syarif karena penyakit lupusku, tak usah dihiraukan. Biarkan angin laut membawa sakit hati itu ke batas laut paling akhir dan menghilang ditelannya. Percayakan saja pada Sang Hyang Kuasa, kata Mimi.

Aku pun terlelap setelah melepaskan semua kegelisahanku kepada Mimi. Acara melarung esok pagi Mimi kebagian membuat sajen masakan utama seperti nasi dan lauknya. Ia tidak menemaniku yang tertidur di ruang tengah, tapi langsung menuju dapur menyalakan hawu.

 

***

Riak-riak laut berkilauan diterpa sinar mentari yang baru bangun. Aku dan Mimi sudah berada di pinggir sungai hendak ikut perahu ikan yang dikendalikan Mamang. Semenjak Mama meninggal, perahu miliknya dipelihara dan dipakai Mamang, adik kandung Mama. Terkadang tetangga lain suka menyewa perahu Mama itu dan uang sewanya diberikan sepenuhnya kepada Mimi.

Tak lama langit biru melengkung, pasukan awan mulai menggantung di atas pesisir wilayah utara. Mamang menyalakan mesin perahu tepat pukul delapan pagi. Perahu-perahu lain pun suaranya menderu. Asap hitam dari solar melayang-layang bikin kelabu dunia atas.

Dari kejauhan terdengar tetabuhan gamelan sedang cek suara. Biasanya, pukul sembilan tepat nanti akan ada pertunjukan wayang kulit purwa melakon kisah Budug Basu dan Dewi Sri. Dua tokoh yang mereka anggap sebagai Raja Ikan dan Ratu Padi, dewa-dewi kesejahteraan. Kami—masyarakat nelayan—mempercayai cerita-cerita yang dilakon wayang kulit purwa itu. Itulah mengapa setiap tahun diadakan sedekah bumi dan pesta laut di kampung kami, juga di kampung-kampung sepanjang pesisir utara, demi mengucapkan rasa syukur kepada Alam Semesta dan Penciptanya.

Perahu bergerak susuri tubuh sungai sebelum masuk wilayah Laut Jawa. Antar perahu saling mengiringi. Tiap perahu membawa sesajen khusus keluarga. Namun, ada sesajen utama perwakilan kampung yang ditempatkan di perahu barisan paling depan. Perahu itu membawa juga tiga kepala kambing. Setelah sekian puluh menit berlalu, semua perahu berhenti dan berkumpul di tengah laut. Kepala kampung dan kuncen membacakan doa dan ucap syukur akan rezeki yang dilimpahkan. Lalu, semua sesajen yang dibawa serta dilarungkan ke laut.

Kulihat Mimi sibuk berdoa dan membasuh muka, kepala dan tangan. Seluruh keluarga nelayan lain juga basuh diri, bahkan ada yang mencebur ke laut. Kupejamkan mata dan mengatur napas. Aku menenangkan diri, karena di waktu inilah Mama kecelakaan.

Waktu itu, Mama terlalu bersemangat membasuh diri demi barokah Alam Semesta. Tanpa sadar, kepala Mama terbentur ujung perahu yang lebih besar ukurannya di sebelahnya yang sedang melaju mendekati kerumunan setelah pelarungan. Tubuhnya terpelanting dan jatuh terkena mesin yang masih berputar. Ibu-ibu dan perempuan menjerit panik melihat air laut memerah. Sementara itu, bapak-bapak terjun ke laut menolong Bapak. Aku dan Mimi berdiri kaku melihat Mama.

“Hei. Kamu Lita, ya?” Sapaan itu membuyarkan ingatanku pada Mama. Aku tak langsung menjawab pertanyaannya, memilih memejamkan mata dan melafalkan doa untuk Mama. Sekian detik aku menghening dan menarik napas dalam berkali-kali. Setelah itu aku membuka mata dan menatap wajah sang penyapa. “Saya Janu. Saya tahu tentang kamu dari ibumu,” lanjutnya lagi tanpa menunggu kata-kataku keluar lebih dulu.

Aku masih menatap lelaki bertubuh kurus itu, tetapi di kepalaku masih dipenuhi Syarif. Syarif yang beberapa hari lalu mengirim surat via Facebook dengan kalimat-kalimat tegas menyuruhku pergi. Sebuah surat yang tak bisa kubalas, karena dadaku begitu sakit membacanya dan tangis kepedihan memenuhi mataku. Namun, ada hal yang paling menyakitkanku setelah ia berkirim surat, beberapa jam kemudian kulihat fotonya sedang tertawa riang dengan perempuan segar, perempuan montok yang sehat. Sungguh, cintaku terluka.

“Lita, kudengar penelitian sekolahmu tentang budaya pesisir, ya?” Lagi, lelaki ini membuyarkan lamunanku. “Aku juga, Ta. Aku sedang penelitian tentang pesta laut seperti ini. Apa kamu mau membantuku mengumpulkan data? Aku sudah punya sedikit bahan, sudah tiga bulan aku tinggal di sini, salah satu narasumberku ibumu.”

“Tentu,” jawabku sambil mengingat dulu Syarif juga berlaku sama, meminta bantuan dan data untuk menyelesaikan penelitiannya hingga lulus sekolah. Aku akan bantu siapa pun itu, aku tak pernah menyesalinya.

Langkahku menuju ujung perahu. Kularungkan kembang-kembang yang menggunung. Kularung hati berduka yang membusuk, tumpukan balas dendam dan sakit hati pada kesia-siaan. Kularung demi kebaikan di masa akan datang. Kuberi secangkir senyum pada lelaki yang masih berdiri, sambil biarkan serangkaian kembang tujuh rupa mengambang mengitari tiga kepala kambing yang perlahan tenggelam tengah laut.

Mimi mendekatiku sambil berbisik, “Janu kaya’é wong bener, sapa sangka jadi jodoh, barokah sing laut ya.[13]Janu sepertinya orang benar, siapa kira jadi jodoh, barokah dari laut ya.

Aku bergidik melihat senyum penuh godaan yang menggaris di bibir Mimi.

 

Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

References

References
1 Urunan, patungan.
2 Mi, baru pulang?
3 Nok (panggilan perempuan). Kamu sudah pulang. Kukira, kamu tidak ingat jalan pulang ke rumah jelek ini. Mau makan tidak, Ta? Ibu hanya masak tempe tahu tadi siang.
4 Pacarnya tidak ikut kemari, Ta?
5 Tidak, Bu.
6 Kenapa? Bapaknya, ya?
7 Bu, Ibu bangga tidak punya anak seperti saya? Yang bisa sekolah sampai tinggi begini.
8 Bangga sekali, Nak. Kamu satu-satunya perempuan di sini yang bisa sekolah sampai apa namanya? Master? Seperti Deddy Corbuzier saja kamu master sulap.
9 Iya, Bu, sudah master. Sebentar lagi aku jadi doktor.
10 Syarif, Bu. Dia memutuskan saya. Katanya, orang tuanya tidak setuju dengan saya. Katanya saya miskin dan penyakitan. Bapaknya ‘kan profesor, Bu. Beda kelas katanya. Bapaknya inginnya sama yang kaya.
11 Ibu minta maaf, ibu bukan orang kaya. Hanya pengupas rajungan (kepiting laut). Bukan profesor seperti bapaknya Syarif.
12 Lita, apa kamu belajar di sekolah untuk memuaskan nafsu amarah kepada bapaknya Syarif? Ibu tahu kamu gelisah ingin sekali nikah, sudah umurnya juga. Tapi kalau Syarif tidak mau, ya sudah. Nanti pasti ada lagi. Jodoh tidak pernah salah, Nak. Sudah, jangan balas dendam kepada keluarganya Syarif. Ikhlaskan saja. Fokus dengan sekolah kamu sendiri. Ibu dukung sekali. Ibu bangga kepadamu. Yang penting kamu sehat lahir batin. Agar lupusnya tidak kambuh saja. Makan yang banyak.
13 Janu sepertinya orang benar, siapa kira jadi jodoh, barokah dari laut ya.