Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Gabak Hulu

author = About Pinto Anugrah
menetap di Padang, mengurus Lembaga Kebudayaan Ranah (Ranah Performing Art Company dan Komunitas Sastra Kandangpadati). Buku cerpennya Kumis Penyaring Kopi (2012).

View all posts by Pinto Anugrah →

Dua hari sudah seperti ini. Saat lagi terik-teriknya, orang-orang akan bergegas menjemur pakaian dan hasil panen mereka. Namun hanya sebentar, tidak sampai satu suapan nasi, awan-awan yang berat kembali datang bergulung. Orang-orang kembali berlari menyelematkan pakaian, padi, buah pala, kulit manis, jagung, dan lainnya, yang terjemur. Setelah semuanya terangkat dari jemuran, hujan tidak benar-benar turun, hanya sekadar gemuruh atau awan hitam pekat memayungi.

Memang dalam minggu ini banyak orang mengadakan perhelatan pernikahan anaknya. Sekarang tanggal baik, begitu kata tetua kampung, makanya di hulu atau muara, di hilir atau mudik, hampir serempak orang-orang mengadakan kenduri. Tentu, kenduri mereka yang begitu meriah tidak mau dirusak hanya karena hujan yang turun tiba-tiba, untuk itu mereka berebut meminang para pawang hujan yang ada. Musim hujan jadi musim panen bagi para pawang hujan.

Akibatnya, awan dengan gulungan hitam itu jadi operan kesana-kemari. Coba dongakkan kepala ke atas, gulungan awan itu begitu cepat berpindah. Angin begitu cepat berubah arah. Selang beberapa saat gulungan awan itu ada di ceruk bukit arah hulu sana, namun tidak akan lama, gulungan awan itu sudah berpindah ke padang datar arah muara sana, dan itu pun hanya sekejap mata, awan-awan itu kembali berbalik arah ke tempat yang lain. Setiap gulungan awan itu singgah di suatu tempat, setiap itu pula muncul asap putih—jika dilihat dari kejauhan serupa asap dupa yang menyentak ke langit. Sudah jadi rahasia umum, berarti pawang sedang bekerja memindahkan gulungan awan.

“Hujan kiriman lagi!” Suna membanting piring kanso di genggamannya ke meja dan langsung berlari menyelematkan padinya yang terjemur.

“Gabak! Kurang ajar kau! Laki tak berguna! Hujan turun, kau diam saja!” Suna menyemprot lakinya yang duduk di sudut rumah. Matanya menerawang entah ke mana.

Gabak tidak menggubris, bahkan ia diam saja ketika kakinya kena lemparan batu bininya.

“Percuma punya laki pawang hujan terkenal, tapi aku tetap pontang-panting setiap guruh datang.” Suna masih terus menyemprot sambil menyeret tikar jemurannya ke tempat yang teduh. Hujan mulai deras, ia segera berlari ke arah jemuran pakaian. Bergegas ia menyelamatkan pakaian-pakaian di tali jemuran.

“Itu!” Suna melempar sebuah celana dalam ke arah Gabak, “tidak berguna, di rumah atau pun di luar!”

Suna lalu menunggingkan pantatnya yang sebesar baskom ke arah lakinya. Gabak berusaha melengah sambil meremas celana dalam itu kuat-kuat.

Suna berlalu masuk sambil terus mengomel.

Gabak tetap berdiam diri di bangku luar sudut rumahnya. Genggaman tangan yang meremas celana dalamnya belum mengendur.

“Seharusnya di puncak-puncak musim hujan ini kau bisa membawa sepeda motor pulang! Malah sebaliknya, semakin banyak saja aku mencucikan kolor burukmu itu! Hasilnya, nol, nol! Malah anak yang akan bertambah kau buat!” Suna berteriak dari dalam.

Prang! Terdengar piring-piring kanso berserakan ke mana-mana.

Gabak membuang napas jauh-jauh. Semua ini berawal dari masuknya musim penghujan kemarin. Entah apa pikiran juragan kayu di kampungnya mengadakan kenduri pernikahan anak semata wayangnya pada awal datangnya musim penghujan. Padahal itu bukan tanggal yang baik menurut tetua kampung. Akan tetapi juragan kayu itu bersikeras tetap ingin mengadakan kenduri pernikahan anak perempuan kesayangannya itu.

Juragan kayu juga meminta Gabak untuk mengawal kenduri itu, jangan sampai hujan datang merusak. Gabak awalnya sudah menolak permintaan itu. Bagaimana pun, periode awal datangnya musim penghujan adalah saat di mana gulungan awan hitam berada di mana-mana. Dan Gabak sadar, ia tidak akan mampu menahan begitu beratnya awan-awan itu untuk mencurahkan air ke tanah. Ilmu yang dipunyainya, yang membuat namanya harum sebagai pawang hujan, bukanlah ilmu untuk menahan curah hujan agar tidak jadi turun ke tanah, namun ilmunya selama ini adalah ilmu yang mampu memindahkan dengan begitu cepat, bagaikan kilat, gulungan awan hitam itu ke tempat lain.

“Saya tidak bisa menahan hujan turun, itu berarti melawan Tuhan! Saya tidak ingin melawan Tuhan. Saya hanya memindahkan awan itu supaya menurunkan hujan pada tempatnya, tempat yang lain, tempat yang tepat.” Begitu selalu penjelasan Gabak akan kerjanya sebagai pawang hujan.

Biasanya ia memindahkan awan yang bergulung itu ke hulu dan hujan pun kemudian lepas di hulu ceruk bukit sana. Karena itu juga, ia kemudian lebih dikenal dengan nama Gabak Hulu, sehingga tidak ada lagi yang mengenal nama aslinya.

Lagi pula, bekerja pada awal musim penghujan sebuah pantangan baginya. Ilmu yang ia pelajari mempunyai sebuah syarat, yakni jangan memindahkan gulungan awan pertama pada musim penghujan.

Namun, juragan kayu tetap bersikukuh meminta Gabak mengawal kendurinya. Sampai kemudian juragan itu mengiming-imingi Gabak sebuah sepeda motor baru. Sebenarnya Gabak tetap tidak bergeming dengan imingan itu, tapi bininya yang mendengar langsung janji juragan kayu saat datang ke rumah mereka langsung menyanggupi. Sudut mata bininya menghunjam tajam ke arah Gabak, penuh ancaman supaya menerima pinangan juragan kayu itu. Gabak tidak bisa berkata apa-apa lagi selain mengiyakan.

Kenduri juragan kayu berlangsung sangat meriah. Bahkan matahari begitu terik menuju puncaknya. Beban pikiran Gabak menjadi kendur, ia kemudian dapat bersiul-siul sambil menyalakan rokok dan duduk begitu gontai dekat unggunan kayu di belakang rumah juragan kayu. Suara juragan kayu pun begitu keras terdengar di kejauhan menyambut tamu yang datang, suara serak yang lebih banyak ditingkahi ketawa terbahak-bahak.

Matahari sedang berada di puncaknya. Bayangan badan begitu pendek, hanya sepanjang telapak kaki. Sambil menghembus-hembuskan asap rokoknya, Gabak melempar-lemparkan puntung kayu manis ke dalam unggunan api. Seketika asap unggunan itu tercium harum, harum kayu manis, mencucuk ke langit.

“Kerja yang bagus, Gabak.” Suara juragan kayu yang begitu riang terdengar muncul dari belakang dan tidak ketinggalan ketawanya yang terbahak-bahak.

Gabak menoleh sebentar dan tersenyum menanggapi, memperlihatkan deretan giginya yang kuning.

“Tenang, Gabak! Bonus sudah menantimu, bahkan tidak hanya sepeda motor yang akan kau bawa pulang, anak kambing aku berikan juga!”

Baru saja juragan kayu berkata yang menyenangkan hati Gabak, terik matahari yang tadinya begitu menyengat tiba-tiba menghilang. Awan bergulungan datang menyelimuti. Gabak panik, air mukanya seketika berubah. Unggunan api yang sedari tadi dijaganya langsung diperbanyak asapnya. Sepertinya terlambat, hujan memulai tidak dengan rintik yang tanggung, namun langsung mengguyur dari langit. Gabak tercenung, unggunannya langsung padam disiram hujan. Juragan kayu murka.

Gabak membuang jauh-jauh celana dalam di genggamannya itu. Celana dalam itu tepat mendarat di atap dangau tempat penyimpanan padi. Ia tidak ingin lagi mengulang-ulang ingatan akan peristiwa beberapa minggu yang lalu itu. Bukan juragan kayu saja yang murka, bininya juga ikut murka.

Sejak peristiwa itu, tidak ada lagi orang yang datang kepadanya. Bahkan keampuhannya untuk memindahkan hujan pun jadi sirna. Menurut syarat keilmuannya, Gabak bisa mengembalikan keampuhannya jika ia menambah anak lagi.

Itulah yang membuat Gabak pusing minta ampun. Jangankan menambah anak, bininya saja setiap malam selalu memunggunginya sejak gagal membawa sepeda motor pulang. Lagi pula, anaknya sudah lima, dapat dipastikan bininya tidak akan mau lagi mengandung. Gabak berjalan gontai dengan pikiran yang kusut. Berjalan tanpa memperhatikan ke mana arah kakinya melangkah.

Malamnya, Gabak tidak pulang. Lewat tengah malam Gabak belum juga menampakkan batang hidungnya. Bininya mulai panik, dicarinya Gabak ke lepau tuak tempat biasa ia duduk, namun tidak ia dapati, bahkan kawan-kawannya yang biasa duduk dengan dirinya pun tidak mengetahui kabar berita pawang hujan itu.

Dua hari, tiga hari, telah berlalu. Gabak telah dinyatakan hilang oleh orang-orang kampung. Sejak hilangnya Gabak, orang-orang ramai berkunjung ke rumah bininya. Sekadar menyatakan keprihatinan atau juga berniat membantu menemukan Gabak.

“Terakhir ia duduk di sana!” Jelas bininya, menunjuk sebuah bangku di sudut luar rumahnya. “Waktu itu saya memang begitu kesal kepadanya. Karena kesalnya, saya lemparkan kolornya yang sedang terjemur ke mukanya, itu terakhir saya bersinggungan dengannya.”

“Itu! Kolor! Kolor itu?” Seseorang tiba-tiba menyela sambil menunjuk ke atap dangau penyimpanan padi.

Selaan itu menyita perhatian orang-orang yang mendatangi rumah Gabak saat itu. Suna, bini Gabak, mengangguk, mengiyakan bahwa memang celana dalam itu milik Gabak yang ia gunakan untuk melempar lakinya.

Orang-orang lalu berbondong, menggerubungi dangau penyimpanan padi itu. Mereka memeriksa dangau itu. Memeriksa ke sekelilingnya dan memeriksa ke dalam dangau sambil berteriak-teriak memanggil Gabak. Tetap tidak ada sahutan dan Gabak tetap tidak ditemukan.

Hujan memang sudah tidak turun hampir seminggu seiring dengan menghilangnya Gabak. Akan tetapi, entah siapa yang memulai, kini orang-orang kampung percaya bahwa hujan yang tidak turun-turun itu bukan gara-gara Gabak menghilang, namun itu gara-gara celana dalam Gabak yang terjemur di atap dangau penyimpanan padi. Semenjak celana dalam itu kembali diturunkan oleh bininya, hujan kembali mengguyur.

Selang lama sesudah itu. Kali ini hujan tidak henti-hentinya. Sepanjang hari langit begitu kelam. Pawang hujan yang ada pun tidak dapat berbuat banyak. Entah apa yang terjadi pada musim penghujan kali ini. Gabak memang belum ditemukan, sudah sebulan lebih, namun rumahnya masih kerap dikunjungi orang-orang kampung. Bukan untuk menanyakan kabar berita hilangnya Gabak, namun untuk meminjam celana dalam Gabak ke bininya, yang dipercaya dapat menangkal hujan.

Hujan memang berhenti di kampung itu, tapi Gabak Hulu, tidak kunjung pulang. Namun, orang-orang tidak peduli lagi pulang atau tidaknya Gabak, yang perlu bagi mereka kini celana dalamnya saja untuk menangkal hujan.

 

Padang, 2016

 

 

 

 

Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: http://kibul.in/cara-berkontribusi/

http://kibul.in/cerpen/gabak-hulu/http://kibul.in/wp-content/uploads/2017/04/featpinto.jpghttp://kibul.in/wp-content/uploads/2017/04/featpinto-150×150.jpgPinto AnugrahCerpenBudaya,Cerpen,kibul,Pinto Anugrah,Sastra,Sastra Indonesia,SeniDua hari sudah seperti ini. Saat lagi terik-teriknya, orang-orang akan bergegas menjemur pakaian dan hasil panen mereka. Namun hanya sebentar, tidak sampai satu suapan nasi, awan-awan yang berat kembali datang bergulung. Orang-orang kembali berlari menyelematkan pakaian, padi, buah pala, kulit manis, jagung, dan lainnya, yang terjemur. Setelah semuanya terangkat…Bicara Sastra dan Sekitarnya