Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Aku dan Surabaya dan Silampukau: Absurditas Hidup di Sebuah Kota

author = Anis Mashlihatin
Alien










Aku Dan Surabaya dan Nakamura







Gerson Poyk







Penerbit Buku Kompas





Maret 2016






202






Rp 59.000



Aku dan Surabaya serta Nakamura adalah karya sastrawan besar Gerson Poyk yang belum pernah dipublikasikan, meski bertahun 1989.

Aku dan Surabaya adalah semacam autobiografi yang merupakan ‘Nostalgia Flobamora’ penulis di masa kecil. Di Surabaya, Gerson memasuki sejarah kesusastraan Indonesia melalui puisi. Karena puisi, Gerson berkenalan dengan teman-teman seniman Surabaya, seperti Muhammad Ali yang menolongnya saat sakit. Yang tak bisa Gerson lupakan adalah Daryono serta Amang Rahman, sahabat sejati yang membantu tanpa pamrih. Seniman Surabaya sangat akrab dan pemaaf. Kehidupan sebagai pelajar dan seniman di Surabaya terangkum jelas di novel ini.

 

Sebuah kota tak pernah sekadar jadi lokasi geografis, entah bagi orang yang hanya singgah atau terlebih bagi orang yang tinggal dan menetap di dalamnya. Sebuah kota merekam jejak, gejolak emosi, perasaan-perasaan. Ia juga merekam perjumpaan antara diri dan orang-orang lain, ruang-ruang, dan lokasi-lokasi yang baru. Dalam wajahnya yang paling buruk sekalipun, sebuah kota menawarkan keindahan-keindahan personal nan subtil. Setidaknya, itulah yang saya yakini.

Itu pula harapan yang awalnya saya sandarkan ketika mulai membaca buku Aku dan Surabaya dan Nakamura karya Gerson Poyk ini. Buku ini terdiri dari dua novel yang memiliki perbedaan tema dan latar. Yang pertama Aku dan Surabaya dan yang kedua Nakamura. Yang pertama tentang sepak terjang penulis di Surabaya, sedangkan yang kedua tentang prajurit Jepang yang bersembunyi di hutan Morotai.

Aku dan Surabaya. Judul itu sedikit sentimentil bagi saya yang belum lama tinggal di kota jancuk ini. Ketika kemudian membaca kalimat demi kalimat dalam novel ini, saya berharap bisa berpapasan di gang-gang sempit Surabaya dengan sang aku. Kemudian kami saling tersenyum mengerti, karena apa yang saya alami, dialami pula olehnya. Di samping itu, kedatangan saya ke Surabaya pada awal 2016 dibekali oleh lagu-lagu Silampukau yang lirik-liriknya menyebut Surabaya dengan intens. Otomatis sedikit banyak gambaran tentang kota ini di kepala saya dipengaruhi oleh lagu-lagu mereka.

Itulah alasan mengapa ulasan novel Gerson Poyk ini kemudian saya sangkut-pautkan dengan lirik-lirik lagu Silampukau. Apa boleh buat, persinggungan saya dengan Surabaya tak bisa jauh-jauh dari lagu-lagu mereka. Lagu-lagu mereka seolah bisa membuat saya melihat Surabaya melalui telinga, sebelum pada akhirnya melihatnya dengan mata. Meskipun demikian, tulisan ini tidak diniatkan untuk membanding-bandingkan antara cerita dalam novel dan cerita dalam lirik lagu. Bukan pula untuk menilai baik buruk. Saya hanya ingin melihat bagaimana sebuah kota yang sama dilihat dari dua perantara yang berbeda, dan dalam rentang waktu yang berjauhan.

Novel Gerson Poyk ini memang bukan novel pertama yang membahas tentang Surabaya. Untuk menyebut beberapa, rujukan pertama cerita tentang Surabaya biasanya adalah novel pendek yang ditulis oleh Idrus: Surabaya. Selain itu, Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia juga menyebut-nyebut Surabaya sebagai latar. Surabaya dalam pandangan Gerson Poyk tentu berbeda dengan kedua penulis itu. Dalam novel ini, boleh dibilang, Gerson Poyk sedang membuat otobiografi terkait hubungan personalnya dengan Surabaya. Ia bertungkus-lumus dengan debu dan jelaganya, sedangkan kedua penulis yang lain berdiri pada jarak tertentu.  

Nah, sebelum kamu melanjutkan membaca tulisan ini, saya sarankan untuk memasang headset di telinga lalu mulai mendengarkan lagu-lagu Silampukau, terutama yang album kedua: Dosa, Kota, dan Kenangan. Biar lebih merasuk.  

Surabaya: Perjumpaan dan Pergulatan

Berlatar waktu 1953, cerita diawali dengan kekaguman Gerson terhadap wujud fisik Surabaya. Kekagumannya yang pertama adalah pada Pelabuhan Tanjung Perak ketika dirinya pertama kali menginjakkan kaki di Surabaya. Perjumpaannya dengan pelabuhan yang ramai seketika menjadikannya tersadar betapa dirinya selama ini tumbuh di suatu daerah yang sepi nun jauh di NTT. Pada titik ini, Surabaya masih indah, hingga pada pertemuannya dengan Jembatan Merah. Berbekal sebuah lagu tentang Jembatan Merah, Gerson yang datang ke Surabaya sebagai siswa Sekolah Guru Atas (SGA) mengharapkan romantika yang indah tentang jembatan yang terkenal itu. Sayangnya, romantika itu seketika runtuh saat ia mengetahui jembatan itu dipenuhi pengemis.

Setelah insiden Jembatan Merah itu, Gerson tak lagi menyajikan deskripsi yang detail tentang sebuah lokasi di Surabaya. Bukan karena lokasi-lokasi geografis tidak mencipta kesan mendalam baginya, tetapi karena yang lebih menyita perhatian adalah realitas kehidupan kota yang kejam. Tentang kekurangan uang dan makan. Juga tentang kesehatan yang merosot.

Jika saat ini indra pendengaranmu dikelilingi “Lagu Rantau”, kamu bisa tahu dengan jelas bahwa lagu itu mengisahkan sosok yang datang ke Surabaya karena sebuah mimpi: ingin menjadi kaya. Ia menyandarkan harapan yang tinggi pada Surabaya. Akan tetapi, sama seperti Gerson, sosok itu harus menanggung kecewa karena impianku tersapu di Surabaya: gagal jadi kaya // Kota menghisapku habis / tubuh makin tipis / dompetku kembang kempis //. Kekaguman dan harapan akan hidup yang indah di sebuah kota pun berakhir sudah.

Kedatangan Gerson ke Surabaya memang tidak bertujuan mengumpulkan harta, tetapi  tujuan mulia, menambah ilmu. Akan tetapi, kesulitan keuangan kerap menghambatnya dalam menambah ilmu. Kesulitan demi kesulitan datang silih berganti. Kekecewaan demi kekecewaan ditelannya sendiri. Tapi hampir semua kesulitan itu bersumber dari kekurangan uang. Bagi Gerson dan bagi sosok dalam lagu itu, Surabaya adalah arena pergulatan. Ada hidup yang harus dipertaruhkan.

Sosok-sosok lain juga mengalami hal serupa. Penjual miras dalam “Sang Juragan” harus berhadapan dengan aparat agar bisnisnya tetap aman. Dalam lagu “Bola Raya”, anak-anak muda pun harus bergulat dengan ruang publik yang semakin menyempit karena ditanam gedung-gedung. Di kota ini, penderitaan tak mengenal usia. Sosok dalam lagu itu pun kembali berteriak: waktu memang jahanam / kota kelewat kejam / dan pekerjaan menyita harapan / hari-hari berulang / diriku kian hilang / himpitan hutang/ tagihan awal bulan/.

Jika Gerson tak banyak membahas tentang lokasi geografis di Surabaya, lain halnya dengan Silampukau. Secara gamblang, beberapa lokasi di Surabaya disebutkan sehingga gambaran tentang kota ini terasa lebih hidup. Sebagai contoh, kawasan Dolly, Taman Hiburan Remaja, dan jalan Ahmad Yani. Jalan Ahmad Yani memang hanya salah satu jalan utama di Surabaya. Akan tetapi, jalan itu dapat dikatakan sebagai representasi bagaimana gelanggang Surabaya yang secara keseluruhan amat beringas.

Selanjutnya, perjumpaan Gerson dengan Surabaya lebih banyak dengan manusia-manusia yang tinggal di dalamnya, baik itu kenalan lama yang berasal dari daerah yang sama dengannya atau orang yang baru dikenalnya. Orang-orang itu, di antaranya, Amang Rahman (pelukis dan penyair), Mohamad Daryono (pelukis), Sudjono Dh, Suwarni Mulyono, hingga pemain teater Tatiek Malyati. Orang-orang itulah yang menciptakan kenangan baginya. Orang-orang itulah yang membantunya ketika ia dalam kesulitan dan kekuarangan uang.

Absurditas Hidup di Surabaya

Penderitaan bertubi-tubi yang menghantam seseorang bisa membuatnya merasa bahwa hidup ini tak bermakna. Hidup ini sia-sia dan tak terpahami. Yang ada hanyalah penderitaan dan kekecewaan yang datang silih berganti. Rasa-rasanya kebahagiaan hanyalah selingan yang terlalu sebentar. Hidup ini absurd. Absurditas itu muncul karena manusia mempertanyakan hidupnya, tetapi tidak menemukan jawabannya.

Barangkali kebetulan di telingamu sedang mengalun lagu “Balada Harian”, kamu akan bisa merasakan absurditas itu. Di luar pagar sana, kawanku / kehidupan memanggilmu // Tapi tahun kian kelabu / makna gugur satu-satu / dari pengetahuanku / dari seluruh pandanganku / pendengaranku / penilaianku // Mentari tinggal terik bara tanpa janji // Kota tumbuh kian asing / kian tak peduli / dan kita tersisih di dunia yang ngeri/ dan tak terpahami ini //. Sosok dalam lagu itu tengah menyadari bahwa hidup di dunia ini sungguh absud. Tak terpahami. Makna yang pernah ada, kini telah gugur. Dan betapa tak berkuasanya manusia di hadapan waktu yang terus bergulir. Pagi tak terhindarkan. Waktu memang benar-benar jahanam. Ia pun terpaksa terus berkelindan dalam waktu yang sekedar hitungan / yang melingkar / kekal di kehampaan //.

Di Surabaya, Gerson pun mengalami absurditas-absurditas yang seringkali sulit diterima dan dipahaminya. Sebagai siswa SGA, Gerson berkeinginan tenggelam dalam dunia sastra sementara di lain pihak ia juga diikat oleh tuntutan belajar karena statusnya sebagai siswa ikatan dinas. Ia pun mengalami saat-saat ketika dirinya merasa sunyi di tengah-tengah massa dan kekuasaan. Namun, ia menyadari bahwa sunyi itu sebagai kenyataan yang paling nyata dalam diri setiap manusia. Ia bahkan mengalaminya sejak hari-hari awalnya di Surabaya.

Yang ditemui Gerson di Jembatan Merah tak lain adalah absurditas. Di Jembatan Merah yang indah itu, ia melihat begitu banyak manusia yang mengalami kemalangan dan kesengsaraan. Ketika itu ia menghabiskan seluruh uangnya untuk diberikan kepada orang-orang papa itu karena ia percaya bahwa birokrasi sekolah akan memberikannya uang. Akan tetapi, birokrasi itu mengkhianati kepercayaannya. Apa yang bisa menjelaskan kondisi semacam itu? Tidak ada. Jembatan Merah dan birokrasi sama-sama tidak indah. Keduanya cacat belaka. Nilai-nilai keindahan itu percuma saja karena manusia terjebak dalam penderitaan.

Lihat pula ketimpangan dalam “Bola Raya”. Wajah anak-anak muda harus bermain bola di jalan raya karena lapangan hijau harus disewa dengan harga tak terjangkau. Karena tak punya uang, mereka kalah dalam perebutan ruang. Padahal lapangan adalah ruang publik yang berhak mereka akses. Dalam hal ini, kota tumbuh menjadi ruang yang asing dan tak peduli pada penghuninya. Sementara itu, lagu “Sang Juragan” memperlihatkan mereka yang terpinggirkan, yang kurang makan, tapi ngotot beli miras. Sedang wakil rakyat tak jauh dari sana ongkang-ongkang di kantornya. Dalam nada yang satir, “Doa” menceritakan seorang remaja yang tak habis mengerti mengapa orang tua mereka tersedot dalam mimpi-mimpi palsu televisi. Dalam hidup yang absurd itu, televisi tak memberikan jawaban apa-apa. Ia justru semakin merendahkan nalar dan mengeringkan imajinasi.

Tak adakah kebahagiaan? Tentu ada. Gerson pun menyadari bahwa di tengah absurditas itu ada kebahagiaan. Ada warna-warna ceria dan indah, misalnya saat-saat tulisannya dimuat di media massa. Kebahagiaan itu juga ada di temaram gang sempit Dolly. Mereka adalah suaka bagi hati yang terluka / oleh cinta oleh seluruh nelangsa / hidup yang celaka //. Kebahagiaan juga ada di botol-botol miras, anggur vodka arak beras, yang lebih hemat jika dicampur potas. Bahkan dalam kebahagiaan yang sebentar itu, mereka harus tetap berhemat. Yang semakin menegaskan bahwa kebahagiaan di kota ini terlalu mahal untuk bisa dibeli. Hanya Taman Remaja Surabayalah yang menyediakan harga terjangkau untuk dapat mencicipi kebahagiaan. Tempat itu sajikan canda tepis gulana.

Namun, kebahagiaan-kebahagiaan itu hanya singgah sebentar untuk kemudian berhadapan lagi dengan segala kesengsaraan. Dengan jenuh hari yang rutin bergulir. Gerson yang pernah sesumbar sebagai penyair terbesar di Surabaya karena sajak-sajaknya dimuat di media massa pun harus menelan pahit kenyataan. Nama dan sajak tak bisa menolongku (Poyk, 2016: 57). Gerson pun harus berhadapan lagi dengan kekurangan uang dan himpitan utang. Sosok dalam lagu-lagu itu kembali berkutat dengan tagihan awal bulan dan pekerjaan yang menyita harapan.  

Berdiri di Hadapan Absurditas

Biar bagaimanapun, mereka tetaplah menghayati absurditas kehidupan di Surabaya. Pada siapa mereka belajar menghayatinya? Gerson tidak memperolehnya dari perpustakaan atau bangku-bangku sekolah. Dari buku-buku ia hanya memiliki pemahaman teoretis. Ia lebih menghayati absurditas pada orang-orang terpinggirkan yang ia temui di Surabaya. Ia belajar pada perempaun “bintang bar” yang kemudian menjadi gila. Juga pada teman-temannya yang bercita-cita menjadi sastrawan tapi gagal. Ia menghayatinya secara nyata, secara eksistensial. Sosok-sosok dalam lagu Silampukau menghayatinya pada gang Dolly. Dolly yang tersembunyi di temaram gang sempit, tetapi “menyala” di puncak kota.

Lantas, menghadapi absurditas itu, bagaimana mereka menentukan sikap? Seseorang yang merasa hidupnya absurd, tidak ada yang bisa dilakukan selain bergulat dengan hidupnya yang absurd, yang ada di depan matanya. Seabsurd apapun kehidupan di Surabaya yang dipenuhi duka nestapa, sosok dalam lagu “Puan Kelana” tetap memilih untuk tinggal. Tuan memilih melambaikan tangan pada Puan yang hendak meninggalkan Surabaya menuju Paris. Sementara itu, Gerson menganggap bahwa Surabaya pada umumnya, kehidupan nyata di dalam kota ini, adalah guru yang membuka diriku untuk menghayati absurditas itu, sejak masa remajaku (Poyk, 2016: 88-89). Bagi Gerson, Surabaya memberikan hanyak hal yang dapat membuatnya merenung. Sehingga, dalam hal ini, Surabaya menjadi kota yang dibenci sekaligus dicintai.

Gerson menyadari kodrat dunia yang absurd, tetapi ia menolak hanyut dalam tragedinya. Ia memilih memberontak. Dengan cara apa? Dengan cara menulis terus-menerus. Aku menulis dengan kesadaranku, ia menegaskan demikian. Meski tinggal di Surabaya, yang notabene adalah kota dagang, yang bagi Gerson sukar menjadi seniman, toh ia tetap berupaya. Justru kehidupan yang keras di Surabayalah yang membentuk kepenulisan Gerson. Bersama teman-temannya, ia pun membentuk sebuah peer group yang terdiri dari beberapa suku, agama, dan tingkat pendidikan. Mereka mendiskusikan apapun perihal sastra dan kebudayaan.

Namun, pemberontakannya tidaklah penuh. Biasanya, seorang yang mengangggap bahwa hidup ini absurd akan meniadakan keberadaan Tuhan. Tidak demikian dengan Gerson. pada titik tertentu, ketika Gerson tak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkelindan di kepalanya, Gerson mencari jawaban pada Tuhan. Ia menyandarkan diri pada Tuhan seperti seorang religius. Beruntunglah mentalku, jiwaku, jika aku masih mempunyai keyakinan bahwa Tuhanlah yang dapat menyelesaikan absurditas ini. Aku percaya pada Tuhan yang pernah memanusia, turun dalam sejarah, dalam absurditas, berpartisipasi dengan duka dan ajal manusia dan menyelesaikannya dengan kebangkitannya dan kenaikannya ke surga (Poyk, 2016: 123). Kepercayaan kepada Tuhan itu pulalah yang menyelamatkannya dari tindakan bunuh diri.  

Naun, sosok-sosok dalam lagu Silampukau berpendapat lain. Di mana Tuhan? Dalam pusaran absurditas itu, Tuhan kalah di riuh jalan. Tuhan/Gusti tak memiliki jawaban atas pertanyaan-pertanyaan jiwa yang remuk diteror televisi. Bahkan pada titik tertentu, Tuhan dan setan tak ada bedanya. Lantas, di manakah cinta? Cinta itu buat kapan-kapan, kala hidup tak banyak tuntutan. Di kehidupan yang absurd ini, tak ada Tuhan pun cinta.  

Apakah saat ini kamu masih mendengarkan lagu-lagu Silampukau? Jika iya, barangkali beberapa menit lagi akan terdengar di telingamu lagu “Duduk Menanti”. Lagu itu adalah lagu penutup untuk album yang tengah kamu nikmati. Sebagai lagu penutup, lagu itu saya nilai sebagai sikap yang mereka ambil dalam menghadapi absurditas. Seperti takdir yang panjang dan pedih / dalam hidup yang muram dan letih / aku masih di sini / ku duduk menanti / hanya menanti / tak bergegas mencari / hanya bersedih / dalam sunyi // Duduk menanti dalam letih mimpi //.

Suasana yang terasa dalam lagu itu adalah mendung menggelayuti hati. Lagu itu begitu kental dengan kepedihan, kemuraman. Tak ada pemberontakan terhadap takdir. Sikap yang berbeda dengan yang diambil Gerson. Dalam hidup yang tak terpahami, ia hanya duduk menanti. Apa yang dinanti? Ajal?

***

Dilihat dari bagaimana Gerson dan sosok-sosok dalam lagu Silampukau bercerita tentang Surabaya, tentang perasaan-perasaan yang berulang itu, ada satu benang merah yang bisa ditarik. Mungkin seperti kota-kota lainnya, Surabaya berubah, tapi sebenarnya tidak berubah. Surabaya tahun 1950-an dan Surabaya tahun 2000-an tetap menyuguhkan kehidupan yang absurd. Hanya saja sikap manusia terhadap absurditas itu berbeda-beda. Ada yang memberontak. Ada yang berputus asa. Atau perpaduan keduanya.

Perjumpaan dan pergulatan saya dengan Surabaya ternyata berlainan jalan dengan Gerson. Awalnya, lagu-lagu Silampukau membuat saya melihat Surabaya dengan pandangan murung dan sinis. Yang terlihat saat itu hanyalah Surabaya yang ganas dan beringas. Namun, perlahan, keindahan kota ini mulai tampak. Bukan keindahan yang gemerlap memang. Saya justru menemukan surga-surga kecil di kota sumpek ini pada hal-hal yang terkesan banal. Meskipun demikian, saya sempat berpapasan dengan sang aku di gang-gang sempit Surabaya. Kami pun sempat saling melempar senyum.

Oh, ya, mungkin kamu bertanya-tanya, kok novel Nakamura tidak dibahas? Nakamura adalah novel amat pendek dengan tema cerita yang berbeda. Saya tidak tahu alasan mengapa Aku dan Surabaya dan Nakamura digabungkan. Jadi, maafkan saya yang tidak membahas Nakamura.

 

 

Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: http://kibul.in/cara-berkontribusi